Karakter Globalisasi vs Simplisitis


Karakter globalisasi dan destruksi identitas manusia.

Globalisasi yang arahnya kepada penghancuran identitas (diri). Globalisasi yang merusak. Kalau toh membawa manfaat sebatas manfaat di permukaan (surface benefit), yaitu manfaat yang tidak memiliki arti (meaningless). Manfaat yang sebenarnya tidak bermakna. Logika ekonomis (mungkin) dapat menjelaskan konsepsi surface benefit ini. Manfaat dihasilkan oleh sumber daya yang harus terus menerus diperbaharui. Manfaat harus bisa menghasilkan pengembalian (return) kepada pemulihan kapasitas sumber daya. Dengan demikian sumber daya tersebut bisa terus menghasilkan manfaat. Surface benefit juga merupakan manfaat semu (pseudo benefit) sebagai akibat arus budaya komersialisasi yang sulit dibendung.


Saat ini teknologi diciptakan dan dikembangkan (diduga) untuk menghasilkan manfaat semu karena ternyata cost-nya sangat besar. Edukatif yang konsumtif. Dan, itu terutama harus ditanggung oleh mereka yang tidak fasih teknologi. Teknologi telah membentuk masyarakat yang fasih teknologi sekaligus masyarakat yang (sebenarnya) sangat rentan untuk dimanipulasi. Teknologi telah membodohkan masyarakat dengan permainan-permainan systemic yang seolah-olah memberdayakan, mendidik. Teknologi tidak pernah berhenti berinovasi. Teknologi yang dynamics sejatinya adalah destruktif karena masyarakat menjadi sangat tergantung di dalamnya.


Menjadi sangat relevan dikatakan bahwa globalisasi sama sekali tidak membawa manfaat. Bahasa efisiensi dan efektivitas memang melekat dalam karakter globalisasi tetapi ternyata mereduksi peran manusia. Manusia akhirnya mereduksi, mengurangi perannya sebagai obyek. Efisiensi dan efektivitas tidak akan pernah membawa manfaat bagi manusia karena biayanya tidaklah "lebih sedikit" dibandingkan dengan in-efisiensi dan in-efektivitas. Efisiensi dan efektivitas yang tercemar oleh budaya komersialisasi kemudian lebih banyak berurusan dengan penciptaan pasar (demand-supply relation). Orientasi pasar selalu berupaya menyeimbangkan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply).


Globalisasi juga berwajah seram karena menghasilkan manusia-manusia yang selalu harus berkompetisi. Kompetisi yang "mengalahkan dan menghilangkan" orang lain. Bersaing untuk kepentingan-kepentingan material. Kekayaan material. Kompetisi yang terarah kepada konsumsi simbolistis. Lihat saja di sekolah siswa yang terus dimotivasi untuk berkompetisi mendapatkan nilai yang tinggi. Dalam konteks pendidikan konsumsi simbolistis adalah mengejar angka (numbering) sebagai tujuan dari pendidikan. Tidak pernah berbicara bagaimana siswa mendapatkan "pengalaman indah" dalam proses pendidikannya. Lihat saja status sosial ideal diukur dari kekayaan material yang dimiliki. Kekayaan material seringkali menjadi acuan.


Spirit kompetitif juga seringkali terjebak pada upaya-upaya membentuk karakter konsumtif. Sejalan dengan itu kemudian memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru melalui mekanisme pasar. Karakter konsumtif yang terus menerus dibentuk akan akan "mencari pasangannya" yaitu karakter produktif, yaitu karakter untuk terus "memproduksi". Dalam hal ini teknologi seringkali berpihak kepada keduanya. Karakter konsumtif dibentuk oleh teknologi melalui sifat ketergantungan (dependensi) karena kelebihan-kelebihan (benefit) yang ditawarkan oleh teknologi seperti kecepatan (speedness) dan keakuratan (accuracy). Kecepatan dan keakuratan sangat mudah direkayasa oleh teknologi, yaitu direvisi pada titik maksimum ketika pasar membutuhkan itu ataupun direvisi pada titik minimal untuk menciptakan "kebutuhan baru". Kita menjadi sangat tergantung pada kebutuhan untuk "lebih cepat" dan "lebih akurat".


Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana meng-counter fenomena globalisasi yang cenderung mereduksi indentitas manusia itu? Apakah simplisitis bisa menjadi salah satu alternatif pemecahan permasalahan itu?


Simplisitis tidak berarti pemiskinan kapasitas ataupun reduksi yang terencana secara sistematis sehingga merusak logika manusia menjadi manusia yang merusak dirinya sendiri. Dalam konteks keep your life simple….berarti hidup yang semestinya sesuai ukuran yang ada. Konsep ini menjadi semakin populer yang kemudian dipertentangkan dengan materialisme.
Konsep materialisme berarti penumpukan material (material accumulation). Sebuah ambisi egoistis dimana material menjadi satu-satunya kekuatan yang "disembah" dan sangat diyakini., bahkan dianut sebagai "agama". Kekuatan simplisitis kemudian menjadi acuan ketika kekuatan material ternyata memiliki "usia" yang terbatas. Sebuah komputer baru tidak akan memiliki "keawetan pakai" di atas 5 tahun karena kehebatan teknologi yang mampu "mengosongkan" teknologi lama. Apakah kemudian komputer mesti ditinggalkan? Jawabannya tentu saja "tidak", tetapi sebelum memberikan jawaban itu mesti dipertanyakan dulu kenapa komputer masih diperlukan.


Kalau kita menulis sebuah esai apakah harus terlebih dulu bertanya kita hendak menulis dengan menggunakan apa (HOW). Atau, justru sebaliknya yang perlu dipertanyakan terlebih dulu adalah isi dari esai itu seperti apa (WHAT).


Simplisitis berarti penyederhanaan. Dalam konteks ekonomi misalnya simplisitis berarti "pemotongan" sejumlah jalur atau rantai (chain) untuk menghilangkan bagian-bagian yang "tidak bernilai ekonomis". Simplisitis yang sudah menjadi budaya akan mencegah manusia dari ketergantungan teknologi. Dengan budaya simplisitis maka manusia tidak lagi membutuhkan teknologi karena tidak ada lagi kebutuhan untuk "lebih cepat" dan "lebih akurat". Yang ada adalah bagaimana kebutuhan itu dapat dipenuhi pada tingkat "porsi yang rasional" (rational portion). Pada tingkat dimana pemenuhan kebutuhan itu hanyalah sebatas "menggantikan bagian" yang hilang dan harus digunakan saat itu. Tidak untuk "menumpuk kelebihan" semacam "investasi" yang antisipatif, yaitu sebagai antisipasi munculnya kebutuhan di masa mendatang. Kebutuhan "saat itu" harus segera dipenuhi pada "saat itu" juga. Barang atau jasa yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus "habis" pada saat itu juga. Tidak lagi ada "sisa" atau "kelebihan" dalam konsepsi "investatif".


Simplisitis sebagai sebuah spirit akan senantiasa "tergerak" untuk melawan globalisasi yang penuh dengan ancaman menciptakan kebutuhan baru. Jebakan kebutuhan-kebutuhan baru yang membuat manusia harus semakin konsumtif. Sampai dimana? Sampai manusia tidak lagi mampu memenuhi kebutuhannya. Pada titik terendah dimana manusia tidak lagi mampu menjadi subyek atas dirinya sendiri sehingga dia tidak lagi mampu berkuasa atas dirinya.


Simplisitis berarti kontra-produktif globalisasi. Tidak lagi pada kebutuhan "kecepatan" dan "akurasi" tetapi bagaimana kebutuhan itu dapat dipenuhi secara rasional. Tidak melebihi kapasitasnya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Juga, konsumsi yang dilakukan hanyalah sebatas pada "menggantikan bagian yang hilang". Simplisitis berasal dari kata simple yang berarti sederhana atau "secukupnya". Penyederhanaan tidak berarti "pemotongan jalur" karena motivasi apatis ataupun pesimistis, tidak juga berarti "jalan pintas" yang mengurangi kepentingan orang lain. Simplisitis tidak berarti efisien dan efektif karena memang tidak berurusan bahasa ekonomis. Simplisitis berarti penyederhanaan terhadap segala bentuk "kerumitan" pola pikir yang justru disebabkan oleh motif-motif efisiensi dan efektivitas.


Karena pertimbangan nilai ekonomis maka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi sangat rasional-ekonomis, maka disitulah diharapkan terbentuk efisiensi dan efektivitas. Tentu saja simplisitis tidak bermaksud demikian melainkan menurunkan tingkat keuntungan pada titik "aman". Titik yang "paling seimbang". Simplisitis atau penyederhanaan juga masuk pada area dimana tidak ada lagi "kebutuhan-kebutuhan baru". Kerumitan ataupun kompleksitas kebutuhan dapat terurai menjadi kebutuhan-kebutuhan yang "paling dibutuhkan".


Kenapa mesti ada kebutuhan untuk "lebih cepat" dan "lebih akurat"? Karena manusia sudah terjebak di dalam sistem untuk menjadi "lebih cepat" dan "lebih akurat". Jebakan sistemik entah dirasakan atau tidak akan menyebabkan masuknya manusia dalam "kotak ketidakberdayaan" sekaligus cepat atau lambat akan "melunturkan" hakikat kemanusiaannya sendiri. Apakah menjadi "lebih cepat" dan "lebih akurat" memang dibutuhkan? Mungkin penekanannya bukan pada "lebih cepat" dan "lebih akurat" tetapi lebih pada bagaimana kecepatan dan akurasi tersebut dapat mengembalikan kepada "titik keseimbangan".

Sebaliknya, kebutuhan yang tinggi akan kecepatan dan akurasi tidak pernah bermotif mengembalikan kepada keseimbangan ekonomis tetapi selalu berorientasi kepada penumpukan modal (capital accumulating). Ambisi penumpukan modal yang tak pernah selesai sampai akhirnya harus dihentikan oleh "hukum keseimbangan".


Simplisitis juga akan lebih mudah dijelaskan dalam motivasi membeli barang. Apa yang lebih dipentingkan? Content atau packaging-nya? Isi atau "bungkus"nya? Oleh karenanya simplisitis mengembalikan pada konsepsi inti atau content-based. Isi adalah lebih penting daripada bungkusnya. Membeli pakaian secara rasional lebih pada fungsi dari pakaian itu sendiri untuk apa. Seringkali pertimbangan-pertimbangan emosional menjadi sangat dominan. Sehingga membeli pakaian juga untuk kebutuhan "dapat diterima secara sosial". Pakaian dan nilai sosial memang kemudian dapat dibenarkan untuk saling dihubungkan. Tetapi, apakah kebutuhan pengakuan secara sosial memang sudah layak untuk dimunculkan? Apakah kebutuhan tersebut sudah sesuai dengan kapasitas (ekonomis) yang dimiliki? @ign.heri.sw/2009

Popular posts from this blog

ONE MORE ABOUT SPIRITUALITY...

A NEW DAY