ignasius heri satrya wangsa

The new world has come. It is when easiness and fastness are generalizing time efficiency, and consequently creating time-oriented society. They adopt values of time efficiency which is measured by economic-based practices. Time has become resources. In the mean time there is a cultural shift of individualism to collectivity which is other appearance of connected-ness egoism. The need for connectivity is dependency of connectivity driven by sensitivity of collective loyalty, namely collective interest which brings emotional close-ness as well as asking for absolute loyalty for those who are attached on it. ------------------------------------------- Dunia baru itu telah terbentuk. Ketika kemudahan dan kecepatan merupakan generalisasi efektivitas waktu, terbentuklah masyarakat yang berorientasi waktu (time-oriented society). Mereka mengadopsi nilai-nilai efektivitas waktu. Ukurannya adalah kepraktisan secara ekonomis. Waktu adalah sumber daya (resources). Pada saat yang sama terjadinya

Connectivity is trying to make a link between variety of characters and interests into the collective ones. There will be dependency which is determined by sensitivity of collective loyality and uniformity of interest. They bring consequences for those who want to be un-connected. -------------- Konektifitas menghubungkan keberagaman karakter dan kepentingan, menjadi karakter dan kepentingan kolektif. Ketergantungan dipicu oleh sentimen lotalitas kolektif, "kepentingan bersama" yang mengikat dan memberi konsekuensi bagi siapapun yang "lepas" dari "ikatan" itu.

TV-BASED ADVERTISING AND IMPACT TO THE DIMENSION OF BRAND EQUITY: TOWARDS EFFECTIVE MARKETING COMMUNICATION | Wangsa | Jurnal Kewirausahaan

POP CULTURE IN ADVERTISEMENT: AN ALTERNATIVE FOR BRAND IMAGE DEVELOPMENT IN THE ERA OF POSTMODERN | Wangsa | Jurnal Kewirausahaan

DUNIA IMAJI ign heri sw Berawal dari pertanyaan Ketika orang-orang muda berhadapan dengan dunia imaji yang terdapat dalam sebuah kotak kecil ajaib yang bernama komputer ataupun televisi, muncul pertanyaan akankah dunia buatan yang tercipta atas kedahsyatan revolusi kreatifitas teknologi itu mampu menghadirkan tampilan emosional dan manusiawi? Akankah tampilan-tampilan itu kemudian berpotensi destruktif karena intervensi kepentingan pasar? Terkait dengan pangsa pasar potensial orang-orang muda, bagaimana menghubungkan karakter orang-orang muda tersebut dengan realitas dunia imaji? Artinya, apakah realitas dunia imaji mampu menghasilkan, membentuk karakter yang sangat spesifik pada orang-orang muda tersebut? Tampilan yang penuh emosional dan manusiawi adalah kontinuitas hasil kreatifitas yang terus bereproduksi dengan kemampuan jelajah ke wilayah yang berorientasi pada kemanusiaan. Kotak kecil ajaib yang bernama komputer ataupun televisi telah mampu menghadirkan, memberi harapan, menjanj

THE WORLD OF IMAGE AND ETHICAL VALUES FROM DEUTERONOMY 30:15-20 Ignasius Heri Satrya Wangsa Starting with the question When young people meet with the world of image inside a tiny “magic” box namely computer or television, will the artificial world created by the booming of technology creativity revolution be able to present emotional and human-oriented performance? Will the performance be consequently bringing destructive potentials because of market intervention? How to relate young people character with the reality of the world of image? It means that as whether the reality of the world of image could produce and form a specific character to young people? Those questions are later on connected to the ethical values adopted from Deuteronomy 30:15-20. How the world of image which are commonly found in the world of young people and somehow tentatively bringing a message of destructive could be objectively discussed instead of “falsified” using the ethical values taken from Deuteronomy

FROM VULNERABILITY TO JOY: A biblical study on Yom Kippur, Sukkot and Shemini Atzeret Background This biblical study is enriched and inspired by the commentary of Rabbi David Hoffman (JTS newsletter 8 October 2009). Hoffman mentioned the most “beautiful part of conversion” from the past life as sinner to the new life referring to the one of Jewish Festival – Shemini Atzeret (Dt. 14:22-16:17 and Num. 29:35-30:1) which is basically integrated with Yom Kippur (Lev. 16:1-34, Num. 29:7-11, and Lev. 18:1-30) and Sukkot (Lev. 22:26-23:44 and Num. 29:12-16). This paper is very interesting to reflect as it brings symbolic meaning of the message of spiritual journey which ends with joyful. In addition, it is an effort to explain the relationship between vulnerability and joy as Hoffman’s statement in his commentary that … the joy that comes from experiencing true love is rooted in our ability to make ourselves vulnerable. The writer describes the relationship between vulnerability and joy within

HUMAN DIMENSION AS AN ALTERNATIVE FOR MEANING REVITALIZATION ON ECONOMIC DEVELOPMENT: CHALLENGE FOR INFORMAL SECTOR Ign. Heri Satrya Wangsa e-mail: ignheri(at)yahoo.com / ignherisw(at)gmail.com ABSTRACT Success in economic development has been so far quantitatively viewed by numbers, on the contrary, regardless human dimension. It is necessary to find the integrated meaning of economic development which focus on human dimension. In addition, that human-based orientation has been an effort to revitalize mis-interpretation of today’s meaning on economic development which is specifically defined within capitalism frame as passive participation (human as a tools or object), capital accumulation (capital-oriented), and creating new inefficient bureaucratic lines. The human-oriented economic development has lead to human as the primary actor. Therefore, the revitalization meaning of economic development should be characterized by active participation of concerns owned by all actors in eco

BERPIKIR REFLEKTIF DAN JERNIH ign heri s wangsa Sebuah kejadian atau peristiwa Ketika kejadian atau peristiwa yang tidak diharapkan muncul, maka (seringkali) yang terlintas dalam pikiran adalah siapa pelaku di balik peristiwa tersebut. Muncul rasa ingin tahu yang mendalam terutama apabila kejadian atau peristiwa tersebut menimbulkan banyak kerugian maupun pengorbanan. Kerugian dalam bentuk kehilangan secara material maupun non-material. Reaksi lainnya adalah ekspresi kekecewaan, kekesalan, bahkan kesedihan sebagai bentuk lain dari upaya “mempertanyakan”. Dalam keadaan seperti itu berpikirpun (seringkali) menjadi tidak rasional, mencoba menghubungkan kejadian atau peristiwa tersebut dengan sejumlah konstruk yang gagal memenuhi unsur-unsur common sense. Simpulan temporer dan instan-pun bermunculan. Fenomena lainnya adalah mencoba melakukan analisis secara logis ilmiah (scientific), menghubungkan segala kejadian atau peristiwa sebagai realitas yang selalu dipertanyakan namun juga selalu m

Orientasi pasar Kata “pasar” menjadi demikian sakral karena selalu menjadi orientasi ideal kegiatan-kegiatan yang umumnya bernilai ekonomis. Pasar selalu menjadi tolok ukur (benchmarking) dalam pengambilan keputusan untuk mencapai sebuah tujuan ideal bernilai ekonomis. Namun demikian, secara filosofis juga sebenarnya setiap aktivitas maupun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, baik bernilai ekonomis maupun non-ekonomis, tidak lepas dari pengertian pasar. Nilai-nilai dalam pengertian pasar adalah nilai-nilai “kolektifitas”, nilai-nilai “kebersamaan”. Ini berarti melepaskan nilai-nilai individualistis, ataupun mengkonversi (entah paksaan atau sukarela) nilai-nilai individualistis menjadi nilai-nilai yang berlaku universal dengan resiko melunturkan nilai-nilai subyektifitas yang sejatinya lebih orisinal dan otentik. Kalau kita melakukan perbuatan “baik” akan lebih mudah diukur dengan menggunakan nilai-nilai kolektifitas, yaitu ketika orang lain (dalam kolektifitas komunal) menil