KEBANGKITAN YANG MEMULIHKAN....


KEBANGKITAN (KRISTUS)YANG MEMULIHKAN

Momentum pemulihan

Kristus telah wafat di kayu salib. Kematian yang sangat mahal hargaNya. Sebuah pengorbanan bagi penghapusan dosa-dosa manusia. Namun, wafatNya kemudian disertai kebangkitan sebagai simbol kemenangan atas maut. Maut dan dosa tidak lagi mampu mengalahkan.

Dipulihkan berarti pembaharuan iman untuk hidup baru yang bersih dari dosa. Meninggalkan hidup lama menuju hidup baru yang lebih menjanjikan sebagaimana Kristus sendiri telah berkata “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal, jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.” (Yohanes, 14:1-3). Dia yang berjanji, dan Dia yang menyediakan tempat untuk kita kelak.

Janji Kristus sebagaimana “garansi” bagi mereka yang mengikuti jalanNya. Dan, itu pasi ditepatiNya karena Dia adalah Allah yang setia seperti yang dilakukanNya terhadap Ayub “Lalu Tuhan memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan Tuhan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu. Tuhan memberkati Ayub dalam hidupnya yang selanjutnya lebih dari pada dalam hidupnya yang dahulu…” (Ayub, 42:10, 12a)

Dipulihkan juga berarti mengikat komitmen dari kita untuk memiliki iman yang aktif. Inisiatif merupakan bentuk penghargaan atas panggilanNya. Menjawab panggilanNya secara aktif dengan membangun hubungan yang lebih terarah, tegas, dan manusiawi dengan diri sendiri. Terarah artinya relasi itu langsung menuju kepada jalanNya yaitu Yesus itu sendiri sebagaimana dikatakan “…Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes, 14:6). Relasi yang lebih terarah, dan tidak melewati “jalan lain”. Untuk itu perlu sikap tegas namun manusiawi. Ketegasan tersebut adalah kedewasaan untuk menentukan pilihan. Bebas namun pilihan itu harus diambil, yaitu satu pilihan saja.

Pemahaman terhadap jalan Kristus mesti dilalui dalam sebuah proses dan bahkan “misteri” yang seringkali tidak mampu diketahui. Seringkali, tidak ada logika yang mampu menjelaskan karena logika manusiawi sangatlah terbatas, sedangkan Allah adalah “ketidakterbatasan”. Sesuatu yang absolut dan tidak mampu “dijangkau” oleh logika manusia. Manusia hanyalah menerima dan menyaksikan karyaNya yang agung. Dengan demikian pemulihan juga berarti “penyegaran” terhadap pemahaman akan jalan Kristus dari sesuatu yang abstrak dan sulit dimengerti menjadi sebuah harapan yang sangat dirindukan. Pemulihan adalah pelepasan sekat-sekat kerumitan pola pikir manusia yang dipenuhi oleh egoisme radikal yang melahirkan ambisi untuk mengalahkan bahkan “menghilangkan” orang lain. Kesesatan pola pikir manusia yang terlalu berlebihan dalam mengandalkan ke”aku”an-nya.

Penyegaran terhadap pemahaman akan jalan Kristus sejatinya adalah buah-buah ketekunan kehidupan doa. Dengan doa kita diingatkan. Doa yang dilakukan secara teratur senantiasa memulihkan ingatan. Menyegarkan ingatan bahwa kehidupan ada yang menciptakan, mengatur. Menyegarkan ingatan akan Yang Absolut – sumber inspirasi bagi siapapun yang ingin mempertanyakan hakikat dari hidup ini.

Pemahaman yang disegarkan dan diperbaharui bukan berarti menggantikan pemahaman lama. Jalan Kristus dari dulu sampai sekarang adalah satu dan tidak pernah tergantikan. “Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga, selain dari pada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak Manusia” (Yohanes, 3:13). Jalan keselamatan itu adalah Yesus sang Anak Manusia.

Bahwa Kristus telah wafat di kayu salib satu kali saja sebagai sebuah pengorbanan yang sangat heroik. Mengalahkan nalar manusiawi. Nampak sebagai “kesia-siaan” bagaimana seorang “raja” bisa mati di “kehinaan” kayu salib. Dia yang tidak pernah berdosa harus mati dengan sia-sia. Apa artinya itu?

St. Paul preached that the resurrection is the very core of Christianity; it is the belief around which the church grew. If Jesus is not raised from the dead “than all is in vain,” he wrote. For Paul resurrection is first of all about new life now. It is about putting on Christ in baptism and then putting on Christ everyday thereafter. After the resurrection Jesus was alive not dead. It is the living Christ we experience at baptism and when we receive the Eucharist. Jesus comes into us and imbues us with his very life (John P Schlegel, S.J.)

Menurut Schlegel kebangkitan Kristus adalah inti dari Kristianitas. Gereja tumbuh dari ajaran tersebut karena perannya menghadirkan ekaristi sebagai simbol kehadiran Kristus. Kehadiran Kristus dalam ekaristi berarti kesempatan bagi kita untuk berjumpa denganNya, dan memohon kekuatan dalam menghadapi cobaan hidup.

Kebangkitan Kristus yang dirayakan setiap tahun menjadi peringatan bahwa manusia telah mati bersama dengan dosa dan “bangkit” mengawali hidup baru sebagai manusia baru. Momentum sentral “pemulihan” itu terjadi setiap tahun bersamaan dengan peringatan Paskah. Momentum itu merupakan pelita yang senantiasa memberikan cahaya bagi kehadiran Kristus dalam setiap perayaan ekaristi maupun kehidupan doa yang kita bangun. Pelita yang senantiasa memberikan ajakan sebagaimana dikatakan Paulus “Sadarlah kembali sebaik-baiknya dan jangan berbuat dosa lagi! Ada di antara kamu yang tidak mengenal Allah. Hal ini kukatakan, supaya kamu merasa malu” (I Kor 15:34). Death has no hold on us, and so many of our fears would melt away. If we realized our ultimate home is heaven, our spirits would be lighter and we would walk around more gratefully. Tidak ada lagi belenggu kematian dan ketakutan karena roh telah menjadi pelita untuk membimbing kita ke jalan surga, jalan yang kita lalui dengan penuh rasa syukur.

Pemulihan untuk cinta yang inklusif

Dalam beberapa kali kesempatan Penulis berjumpa dan berinteraksi dengan orang-orang lokal khususnya di kota Nabawan kesan yang muncul adalah orang-orang yang mudah akrab. Berjumpa dengan orang tidak dikenal bisa diikuti oleh pemberian salam entah itu dalam bentuk lambaian tangan, senyum, maupun sekedar sapaan ramah.

Sebuah perwujudan iman yang nyata dan sangat mudah diterapkan apabila mampu ditumbuhkan melalui semangat iman yang aktif. Iman yang senantiasa berbuah kebaikan karena terbebas dari belenggu egoisme. Belenggu egoisme yang menghasilkan cinta eksklusif dan sangat terbatas atau dibatasi. Cinta yang terlampau membatasi sampai akhirnya bersifat destruktif, merusak. Agaknya sebuah lagu yang berjudul “too much love will kill you” hanya untuk cinta yang eksklusif. Cinta eksklusif yang terlalu berlebihan dan “salah arah” akan merusak diri sendiri. Tetapi, momentum pemulihan melalui Kebangkitan Kristus akan mengembalikan eksistensi manusia untuk saling berbagi cinta karena Kristus sendiri telah membuktikan cintaNya melalui kematian di kayu salib. Cinta yang tidak “salah arah” adalah membentuk cinta yang inklusif dan mempersatukan. Cinta yang kemudian dibagikan (distributing love) mampu membangun komunitas damai. Dalam bentuk yang mudah dipahami dan dipraktekkan cinta dapat berupa ungkapan perhatian yang dimulai dengan sapaan. Apabila memungkinkan, cinta dapat diberikan dalam bentuk kesungguhan untuk lebih banyak “mendengar”.

Di tempat tinggal Penulis, Asrama Butitin – Nabawan, para boarders (penghuni asrama) dididik untuk memiliki kedisiplinan dalam mengatur diri sendiri (self-management). Mereka dibiasakan untuk hidup secara teratur dan seimbang. Keseimbangan antara aktivitas fisik (membersihkan lingkungan asrama, berkebun, olah raga) dan aktivitas rohani (berdoa bersama). Keseimbangan hidup yang sangat sulit untuk didapatkan dalam era modernisasi seperti sekarang. Manusia modern yang tinggal dan hidup di kota-kota besar sulit mendapatkan keseimbangan hidup karena terbelenggu oleh kesibukan semu bercorak kapitalistis.

Disini, para boarders menjalani rutinitas yang penuh makna. Sekecil apapun itu apabila dilakukan dengan cinta, maka akan berbuah kebaikan. Mereka adalah komunitas yang mempromosikan buah-buah iman kristiani yang aktif. Berharap dari komunitas tersebut menjadi kekuatan yang memicu (triggering power) bagi terciptanya lingkungan sosial yang damai dan penuh cinta.

Pendidikan bisa dilakukan dalam bentuk yang lebih menyeluruh (holistic). Anak-anak dibentuk menjadi sosok mandiri yang kelak mampu menolong dirinya sendiri. Krisis di masa mendatang adalah krisis identitas diri. Ancaman krisis manusia yang asing dengan dirinya sendiri (aliegnation) tidaklah dapat diremehkan begitu saja. Dalam tataran yang sangat serius krisis alienasi atau pengasingan diri akan menuju kepada kehancuran peradaban.

Oleh karenanya pemulihan cinta yang inklusif diikuti oleh upaya inisiatif untuk terus membangun keterbukaan yang berawal terhadap diri sendiri. Membangun sebuah tempat dimana Kristus sendiri hadir di dalamnya. Berdamai dulu dengan diri sendiri untuk kemudian berdamai dengan sesama.@ign.heri.sw/2009

Popular posts from this blog

A NEW DAY

ONE MORE ABOUT SPIRITUALITY...