THE SINGAPOREAN WAY....



THE SINGAPOREAN WAY: EGOISME NEGARA-KOTA

Sebuah gereja Katolik yang terletak di Chapel Road, Singapore mengadakan Misa Paskah pagi pukul 7.15 pada sebuah hari Minggu tanggal 12 April 2009. Hari itu udara cukup cerah walau agak mendung. Gereja yang cukup megah dengan umat yang sebagian besar datang menggunakan mobil (mewah) pribadi. Walau tidak terlalu banyak dihadiri umat namun suasana misa berjalan lancar dan cukup khidmat.

Seluruh petugas misa memakai jas. Sangat formal, serius dengan mengikuti tatacara misa yang telah direncanakan dengan baik. Misa dilakukan dengan menggunakan bahasa Inggris. Pembaca bacaan membaca dengan intonasi yang sangat jelas dan sedikit terdengar Singaporean-styled pronunciation.

Namun demikian tatacara dan suasana misa terlihat sangat berbeda dibandingkan pengalaman yang pernah diikuti oleh Penulis baik di Indonesia maupun Malaysia. Disini gaya kota sangat terasa. Nampak jelas sosok negara-kota seperti Singapore hanyalah menghasilkan egoisme. Salam damai dalam bentuk jabat tangan diganti dengan sekedar tatapan dan senyuman tanpa arti yang (sebenarnya) lebih bermakna formalitas sekedar mengikuti tatacara misa yang sudah diwariskan sebelumnya. Sebuah rutinitas yang dilakukan secara tidak sadar.

Rutinitas akan membelenggu ketika rutinitas itu sendiri dilakukan secara tidak sadar. Dan semakin terlihat egoisme negara-kota seperti Singapore pada hari ini mendominasi kehidupan kota-kota besar di dunia. Egoisme yang sangat dinikmati dimana manusia memuja secara berlebihan dirinya sendiri sekaligus memihak kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan dirinya.

Rutinitas tersebut juga tidak membawa makna yang “menguntungkan” kecuali menjadi pondasi yang kokoh bagi egoisme yang membawa makna “tidak menguntungkan”.

Orang-orang Cina memang terkenal sebagai pekerja keras. Sama dengan penduduk Singapore yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Cina maupun keturunan Cina yang sangat “gila kerja” seolah-olah waktu adalah uang (time is money). Waktu adalah sumber daya yang sangat langka, dan oleh karenanya harus digunakan sebaik mungkin. Prinsip efektivitas dan efisiensi diterapkan dengan ketat melampaui batas-batas humanistis. Tanpa sadar prinsip tersebut yang awalnya cocok untuk benda mati dilogikakan dan diterapkan “seadanya” pada manusia. Atas kehendak dan kemauan manusia itu sendiri prinsip efektivitas dan efisiensi dipakai untuk mengukur sesuatu yang “ideal” dan harus dicapai. Akhirnya, manusia menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi sebagai sarana untuk mengumpulkan “surplus”. Surplus berarti keuntungan. Semakin besar surplus yang diperoleh, semakin besar keuntungan yang bisa didapatkan. Realitas ini kemudian menjadi sebuah “mesin otomatis” yang tidak lagi mampu dikontrol. “Mesin yang tak berpemilik” inilah yang akhirnya merusak peradaban manusia.

Apabila dapat dijelaskan dengan menggunakan logika tersebut maka patut diwaspadai bahwa rutinitas yang membelenggu dan memperkokoh egoisme berpotensi merusak dan “menghilangkan” hakikat manusia.

Banyak media massa memuat berita-berita seputar krisis ekonomi global. Banyak istilah bermunculan menggambarkan situasi ekonomi saat ini. Mulai dari kemunduran ekonomi (economic downturn) sampai dengan ekonomi yang sedang lesu (worse economic situation). Pasar yang sedang lesu dan mengurangi permintaan (demand) karena daya beli yang lemah. Banyak pendapat disampaikan dalam bentuk artikel-artikel bisnis yang dijumpai Penulis ketika mengunjungi toko buku Borders di Marine Parade Road, Singapore. Di antara banyak pendapat yang disampaikan mencoba memberi “resep jitu” bagi pemulihan krisis ekonomi. Berbagai kombinasi pendekatan digunakan untuk menjelaskan permasalahan krisis sekaligus memberi solusi.

Banyak yang mengatakan sebagai krisis dimana keserakahan manusia mencapai puncaknya. Keserakahan manusia yang tak lagi mampu dikenali sebagai “sesuatu” yang merusak. Sejatinya belumlah ada pendapat yang secara tepat mampu menjelaskan dengan baik permasalahan krisis maupun pemecahannya.

Pengalaman Penulis dalam sebuah perkuliahan di Indonesia terdapat pendapat yang agak radikal dan ceroboh bahwa permasalahan krisis ekonomi dunia bisa diselesaikan dengan melalui perubahan sistem ekonomi kapitalisme menjadi ekonomi moral. Semudah itukah?

Egoisme yang berlebihan sebagai produk kapitalisme kota seperti yang terjadi di Singapore tidak akan bersifat destruktif atau merusak apabila egoisme tersebut mampu dinetralkan sikap yang toleran untuk “sedikit berbagi” kepada orang lain. Namun mekanisme ini harus mampu dijaga oleh sebuah “otoritas independen” bukan dalam bentuk aturan formal dengan segala konsekuensinya “tegas”nya, namun sebuah kekuatan moral yang lebih banyak memberi contoh, pola ataupun patron tanpa memberi beban konsekuensi apapun bentuknya.

Produk negara-kota seperti halnya Singapore yang seringkali disalahkan sebagai penyebab tumbuh suburnya kapitalisme yang berakar dari budaya egoisme tidaklah dapat diselesaikan dengan merubah total sistem yang ada. Egoisme tidak bisa dihilangkan begitu saja karena melekat dalam keberadaan manusia itu sendiri. Egoisme semakin dibentuk ketika manusia tidak lagi percaya adanya “sosok” yang memiliki “ketidakterbatasan”. Kekuatan “aku” manusia kemudian dipakai sebagai pembenaran absolut terhadap berbagai hal. Manusia yang terjebak dalam pembenaran untuk dirinya sendiri.

Sebagai salah satu kota metropolitan dunia, Singapore menjadi zona nyaman (comfort zone) bagi aktivitas bernilai ekonomis. Semua dihitung melalui mekanisme untung-rugi. Semakin banyak memberi semakin banyak menuntut “hak mendapatkan”. Namun, dalam realitas tidak ada konsepsi semakin sedikit memberi semakin sedikit pula “porsi hak mendapatkan”. Artinya, mekanisme itupun kemudian menjadi “semu” dan tidak “fair”. Manusia hanya ingin memberi sedikit untuk mendapatkan yang lebih banyak. Dan, yang lebih memprihatinkan adalah ketika aset intelektual dipakai untuk menyelesaikan “logika” tersebut. Keserakahan adalah jawabannya.

Apa yang ingin disampaikan adalah bahwa zona nyaman bagi aktivitas bernilai ekonomis disana seringkali hanya menyediakan “permainan kotor” yang menghasilkan kesenjangan antara mereka yang mendapatkan “bagian yang lebih banyak” dengan mereka yang mendapatkan “bagian yang lebih sedikit”. Juga, manusia yang semakin teralienasi, diasingkan oleh dirinya sendiri. @ign.heri.sw/2009

Popular posts from this blog

A NEW DAY

INTELLECTUAL GIPSY