BERMAIN LOGIKA PASAR

Orientasi pasar
Kata “pasar” menjadi demikian sakral karena selalu menjadi orientasi ideal kegiatan-kegiatan yang umumnya bernilai ekonomis. Pasar selalu menjadi tolok ukur (benchmarking) dalam pengambilan keputusan untuk mencapai sebuah tujuan ideal bernilai ekonomis.

Namun demikian, secara filosofis juga sebenarnya setiap aktivitas maupun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, baik bernilai ekonomis maupun non-ekonomis, tidak lepas dari pengertian pasar. Nilai-nilai dalam pengertian pasar adalah nilai-nilai “kolektifitas”, nilai-nilai “kebersamaan”. Ini berarti melepaskan nilai-nilai individualistis, ataupun mengkonversi (entah paksaan atau sukarela) nilai-nilai individualistis menjadi nilai-nilai yang berlaku universal dengan resiko melunturkan nilai-nilai subyektifitas yang sejatinya lebih orisinal dan otentik.

Kalau kita melakukan perbuatan “baik” akan lebih mudah diukur dengan menggunakan nilai-nilai kolektifitas, yaitu ketika orang lain (dalam kolektifitas komunal) menilai bahwa memang kita melakukan perbuatan “baik” itu. Eksistensi “baik” secara obyektif diakui secara kolektif dalam cakupan wilayah komunalitas. Walaupun harus bersusah payah untuk menjadi lebih universal karena perlu diakui/pengakuan oleh banyak orang, namun kemudian pembenaran terhadap eksistensi “baik” dikatakan lebih obyektif. Orisinalitas subyektif kemudian harus disesuaikan, bahkan kemudian ditransformasikan kepada nilai-nilai orisinalitas obyektif yang (katanya) lebih universal (dan sahih). Konsepsi ini seringkali dijumpai dalam terminologi “kebersamaan” atau “demi kepentingan orang banyak”. Menjadi semakin parah ketika nilai-nilai kolektif ini mengkristal menjadi egoisme (yang menindas). Atas nama kepentingan bersama, maka kepentingan individual harus dipinggirkan.

Meminjam logika pasar, maka kepentingan bersama menjadi ukuran yang sangat ideal. Namun patut dipertanyakan apakah demikian mudah menerapkan logika pasar dalam konteks ini. Ketika kepentingan individual (sebagian) harus dikontribusikan untuk kepentingan kolektif, maka kepentingan kolektif kemudian (secara otomatis) menjadi acuan umum.

Kalau kehidupan ini (ekonomis maupun non-ekonomis) diserahkan kepada logika pasar, maka yang terjadi adalah dominasi kekuatan pasar sebagai alasan yang kemudian dipaksakan untuk dapat dipertanggungjawabkan.

Logika pasar secara ekonomis
Logika pasar dalam konteks ekonomis adalah logika keseimbangan ekonomis antara permintaan dan penawaran. Keseimbangan pasar itulah kemudian menjadi indikator kehidupan ekonomis yang ideal dimana menurut aliran Smith-ians ada pengakuan bahwa tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hands) akan (selalu) mengembalikan kekacauan ekonomis (economic chaotic), yang disebabkan oleh karakter homo economicus pelaku-pelakunya, ke arah titik keseimbangan. Titik keseimbangan itulah yang disebut sebagai pasar.

Karakter homo economicus manusia sebagai subyek kegiatan ekonomis tidak akan pernah selesai dan berhenti pada satu atau beberapa kebutuhan. Sebagai makhluk yang tidak pernah selesai (unfinished man) manusia selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi pemenuhan seluruh kebutuhannya. Kebutuhan manusia dalam cakupan kewilayahan atau areal adalah tak mengenal batas (borderless), sedangkan dalam cakupan jumlah (quantity) adalah tak terbatas (unlimited).

Bisa dibayangkan seorang manusia yang dapat memenuhi seluruh kebutuhannya (dalam cakupan kewilayahan maupun jumlah) pada tingkat yang ideal, maka (mungkin) dia akan menjadi manusia yang paling bahagia dalam hidupnya. Tapi tentu saja tidak akan berlangsung lama. Masalahnya adalah ketika jumlah manusia bertambah semakin banyak, dimana cakupan kewilayahan dan cakupan jumlah akan “berbenturan” antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.

Setiap manusia memiliki kebutuhan yang harus juga dipenuhi secara ideal. Keadaan ini kemudian memunculkan persaingan, yaitu konsumen yang bersaing (dengan konsumen lainnya) untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) memenuhi kebutuhannya sehingga tercapai kepuasan maksimal (completely satisfied). Hukum keseimbangan kemudian mengatur itu. Dan, hukum keseimbangan sebenarnya adalah pasar itu sendiri.

Oleh karenanya eksistensi pasar tergantung dari “ethics” perilaku pelaku-pelakunya, yaitu manusia. Manusia yang terlampau besar “cakupan” kebutuhannya akan mempengaruhi harga keseimbangan pada tingkat dimana harga menjadi sangat “mahal” dan (mungkin) akan menghilangkan kesempatan bagi orang lain terutama yang tidak mempunyai daya beli.

Pasar seringkali menjadi indikator yang relatif mudah dipahami ketika membicarakan mengapa kebutuhan manusia tidak pernah selesai, tidak pernah terpenuhi secara ideal, maupun ketika muncul kebutuhan-kebutuhan baru. Dengan menggunakan logika pasar, kalau kebutuhan manusia diletakkan pada sisi permintaan maka yang terjadi adalah bahwa permintaan tersebut kemudian direspon atau diseimbangkan dengan penawaran. Setiap muncul kebutuhan baru selalu akan direspon atau diseimbangkan dengan munculnya penawaran. Demikian juga sebaliknya, munculnya penawaran akan direspon atau diseimbangkan oleh permintaan.

Melalui penjelasan ini dapat dikatakan bahwa munculnya kebutuhan (yang seringkali senantiasa baru) disebabkan oleh munculnya penawaran-penawaran (baru). Produk-produk baru inovatif yang dikeluarkan oleh produsen selalu memotivasi konsumen dengan kebutuhan-kebutuhan baru. Dalam konteks ini konsumen selalu berada dalam posisi rentan yang akhirnya (secara tidak sadar) akan terus termotivasi untuk memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru. Resistensi konsumen terlihat dari kegagalannya untuk “menghentikan secara sadar dan sukarela” kebutuhan-kebutuhan barunya.

Produsen dengan bantuan kecanggihan teknologi terus menciptakan produk-produk baru dalam berbagai format. Format pertama adalah produk-produk yang relatif “sama sekali baru”. Produk-produk tersebut bersifat substitutif, selalu menggantikan dan “mengalahkan” produk-produk lama dengan core benefit yang sama sekali baru. Format kedua adalah produk-produk lama dengan cosmetic baru. Produk tersebut bersifat complement, melengkapi core benefit produk-produk lama.

Kekalahan konsumen
Mengapa konsumen demikian mudah “dikalahkan”? Logika pasar juga dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa konsumen selalu dalam posisi “kalah”, yaitu ketidakberdayaannya terhadap kebutuhan-kebutuhan baru yang selalu saja muncul tanpa pernah diketahui penyebabnya. Kita tahu, misalnya, bagaimana karya-karya JK Rowling dengan “Harry Potter”nya mampu menarik perhatian masyarakat dunia. Seperti kekuatan magis, sebagaimana tema dalam karya-karyanya, yang demikian fenomenal. Kekalahan luar biasa bagi konsumen yang tidak lagi mampu membatasi dan mengetahui esensi dari “konsumsi”. Apakah fair apabila berpendapat seperti itu? Jawabannya menjadi sangat relatif ketika ternyata banyak orang tidak mempermasalahkan “kekalahan” tersebut, bahkan sebaliknya bukanlah “kekalahan” melainkan “kemenangan”. Mereka sangat puas dengan karya-karya Rowling. Namun apabila ditelaah lebih dalam, apakah kepuasan tersebut mampu memotivasi banyak orang untuk semakin “produktif” sehingga konsumsi tersebut adalah benar-benar merupakan tindakan “cerdas” yang dapat “dipertanggungjawabkan”. Apakah kepuasan tersebut mampu menempatkan manusia sebagai subyek yang kemudian secara sadar mengetahui batas-batas perilaku konsumsinya? Jawabannya menjadi sangat “tidak”. Kepuasan itu ternyata menjadi sangat destruktif. Buktinya? Produk-produk Rowling menjadi demikian “serial” dan memiliki “daur hidup” atau lifecycle yang sangat panjang (Harry Potter memiliki tujuh seri!). Apakah bisa lebih dari itu? Tentu saja bisa karena yang menentukan “karakter” serial adalah produsennya dan bukannya konsumen. Konsumen pasti selalu dikalahkan.

Fenomena irasional konsumen menjadi lumrah dimana konsumen tidak lagi mampu menggunakan nalarnya. Banyak scholar mengatakan bahwa belanja (shopping) memang akhirnya menjadi sangat “miskin” dengan pengertian memberi “pengakuan eksistensi” si pembelanja (shopper), di sisi lain belanja sebenarnya adalah aktivitas yang sarat dengan nilai-nilai konsumtif-reduktif. Belanja menjadi sebuah aktivitas pemenuhan kebutuhan ilusif.

Mengapa produsen demikian cepat melakukan inovasi bagi produk-produknya? Apakah bisa dikatakan bahwa produsen sebenarnya juga telah menjadi “korban” kemajuan teknologi? Apakah “kemenangan” konsumen akan bisa dicapai dengan menerapkan konsepsi “konsumen produktif”?

Inovasi menjadi demikian cepat dilakukan karena memang dikehendaki oleh “pasar”. Pasar yang demikian otoriter menjadi kekuatan luar biasa bagi intelektualitas produsen (manusia) untuk terus berkreasi. Intelektualitas manusia berada di belakang produk-produk yang inovatif. Bahkan, intelektualitas manusia yang dipengaruhi dengan sangat kuat oleh pasar menjadi irasional ketika tercipta produk-produk “sampah”. Produk-produk “sampah” adalah produk-produk yang menimbulkan tingkat ketergantungan (dependency) sangat tinggi (alcoholic) sekaligus memberdayakan konsumen untuk melakukan konsumsi irasional jangka panjang (long-term irrational consumption).

Akhir logika pasar
Apa yang bisa disimpulkan dengan logika pasar? Bahasa lain dari pasar adalah “keseimbangan”, namun abstraksinya bisa sampai pada pengertian “kebersamaan”. Keseimbangan dan kebersamaan sama-sama memiliki “popularitas” untuk menjadi orientasi. Keseimbangan seringkali menjadi idealisme dari karakter yang “lengkap” (complete) dan “selesai” (finished), padahal keseimbangan (khususnya dalam konteks ekonomi) akan dapat dibaca sebagai fenomena konsumsi yang tidak pernah selesai (unfinished consumption). Fenomena ini kemudian bisa dipakai untuk menjawab mengapa akhirnya terjadi “konsumsi sampah” atau konsumsi atas barang atau jasa yang sama sekali tak bernilai atau tak dibutuhkan.

Logika pasar mencoba menjelaskan secara rasional bahwa nilai-nilai yang diadopsi dari orientasi “kebersamaan” bisa saja salah arah ketika “kebersamaan” itu sebenarnya dibelokkan oleh kekuatan otorisasi kolektif.

Ketika kreatifitas menjadi kata kunci bagi produsen untuk terus mengalahkan konsumen, maka tidak ada jalan lain untuk menghentikan “kekalahan” itu melalui edukasi. Konsumen diharapkan semakin kritis ketika muncul tanda-tanda irasionalisasi konsumsi.

Ketika kekuatan otorisasi kolektif mereduksi peran individualistis maka tidak ada jalan lain selain mengakhiri sesat logika pasar yang selalu mengedepankan nilai-nilai kolektifitas, kebersamaan. Itu berarti peran individualistis perlu diberdayakan dan diatur jangan sampai melebar ke wilayah eksklusivitas egoistis.

(ign_heri_sw/2010)

Popular posts from this blog

ONE MORE ABOUT SPIRITUALITY...

A NEW DAY