BERPIKIR REFLEKTIF DAN JERNIH
ign heri s wangsa

Sebuah kejadian atau peristiwa

Ketika kejadian atau peristiwa yang tidak diharapkan muncul, maka (seringkali) yang terlintas dalam pikiran adalah siapa pelaku di balik peristiwa tersebut. Muncul rasa ingin tahu yang mendalam terutama apabila kejadian atau peristiwa tersebut menimbulkan banyak kerugian maupun pengorbanan. Kerugian dalam bentuk kehilangan secara material maupun non-material. Reaksi lainnya adalah ekspresi kekecewaan, kekesalan, bahkan kesedihan sebagai bentuk lain dari upaya “mempertanyakan”. Dalam keadaan seperti itu berpikirpun (seringkali) menjadi tidak rasional, mencoba menghubungkan kejadian atau peristiwa tersebut dengan sejumlah konstruk yang gagal memenuhi unsur-unsur common sense. Simpulan temporer dan instan-pun bermunculan.

Fenomena lainnya adalah mencoba melakukan analisis secara logis ilmiah (scientific), menghubungkan segala kejadian atau peristiwa sebagai realitas yang selalu dipertanyakan namun juga selalu mampu mendapatkan jawaban.

Sebuah kejadian atau peristiwa adalah obyek berpikir. Dan, berpikir itu sendiri adalah sebuah proses mengamati, menghubung-hubungkan, menjelaskan keterkaitan antar hubungan, menganalisa, membuat dugaan, serta simpulan. Konteks reflektif adalah upaya membuat standarisasi menurut ukuran diri sendiri. Reflektif juga menyangkut tingkat kedalaman, tidak pernah berada di (tingkat) “permukaan”. Reflektif adalah “radikal” dan mendalam. Selalu berada di tingkat yang “lebih dalam”. Ukuran “dangkal” dan “dalam” adalah persoalan bagaimana proses berpikir dapat dilalui secara lebih lengkap, sadar dan mencakup keseluruhan aspek.

Apabila dibaca secara reflektif, seringkali kejadian atau peristiwa menjadi sebuah “tanda” atau gejala (sympton) akan munculnya kejadian atau peristiwa berikutnya. Bisa saja dugaan tersebut adalah munculnya kejadian atau peristiwa yang sama atau sebaliknya munculnya kejadian atau peristiwa yang berbeda. “Keramaian” dugaan seperti ini seringkali menjadi daya tarik ekonomis. Keramaian yang kemudian menghadirkan banyak gosip atau isu yang memiliki nilai jual secara ekonomis. Tragis namun itulah realitanya.

Melalui sebuah kejadian atau peristiwa manusia diajak berpikir, dan sebagai makhluk rasional manusia berusaha mencari jawaban dan makna di balik kejadian tersebut. Intensitas kejadian tertentu juga mempengaruhi tingkat kedalaman berpikir. Muncul pertanyaan klasik reflektif mencoba mengaitkan peristiwa-peristiwa tersebut dalam berbagai “ranah”.

Reflektif dan jernih adalah persoalan metoda untuk memahami sebuah persoalan secara lebih “bersih dan lurus”, dan bukannya sebaliknya “spekulatif dan oportunistik”. Banyak media kemudian menampilkan berbagai pemikiran dan wacana yang lebih bersifat spekulatif dan oportunistik atas nama logika “pasar”. Reflektif dan jernih mencoba mengesampingkan dan memisahkan unsur-unsur subyektifitas “emosional”. Reflektif dan jernih tidak pernah berhenti pada persoalan “siapa” di balik terjadinya berbagai peristiwa, tetapi justru sebaliknya melakukan upaya-upaya eksploratif secara teliti, detil, menyeluruh dan tuntas.

Tidak perlu selesai

Berpikir reflektif dan jernih tidak perlu harus berhenti dan sampai pada upaya menyelesaikan sebuah permasalahan tetapi terus melakukan elaborasi. Elaborasi tidak dimaksudkan untuk memperlebar cakupan wilayah kompleksitas permasalahan yang diakibatkan oleh sebuah peristiwa atau kejadian. Elaborasi adalah upaya mencari dan mengidentifikasi sebuah bentuk atau format simplifikasi untuk mereduksi kompleksitas permasalahan. Simplifikasi bukan berarti pemotongan jalur proses penyelesaian permasalahan tetapi lebih pada mengurangi simpul-simpul kerumitan sebuah permasalahan. Masalah menjadi lebih terbuka dan sederhana karena tidak memerlukan penjelasan logis yang panjang. Secara metodologis, masalah juga menjadi lebih fleksibel untuk “dibaca” dengan menggunakan berbagai pendekatan.

Berbagai peristiwa menyebabkan munculnya persoalan yang datang silih berganti memberi warna dalam kehidupan. Dalam tataran tertentu peristiwa-peristiwa tersebut sulit dipahami. Hal ini seringkali terjadi karena ilusi atmosfir “kenyamanan”. Zona nyaman itu adalah suasana tenang, nyaman dan damai (yang sangat diinginkan) tiba-tiba berubah menjadi sebuah petaka yang sama sekali tidak pernah dikehendaki, diinginkan dan diimpikan. Keteraturan (regularity) berubah menjadi kekacauan (chaotic) yang tidak pernah bisa dimengerti. Ungkapan kekecewaan, kekesalan, kemarahan bercampur aduk dengan kekhawatiran dan ketakutan. Pikiran yang kalut, kacau kemudian juga memunculkan persoalan tersendiri.

Sebagai sebuah proses, berpikir adalah upaya mempertanyakan persoalan-persoalan tersebut. Kesadaran akan eksistensi manusia (terhadap dirinya sendiri) ditentukan oleh sejauh mana kegiatan berpikir tersebut mampu dipertahankan. Dengan demikian, proses berpikir dalam upaya mempertanyakan berbagai persoalan (juga) tidak perlu harus selesai karena kegiatan berpikir itu sendiri adalah wujud kesadaran eksistensi manusia. Teruslah berpikir maka akan sampai pada titik ekstrim dimana tersedia berbagai “pilihan” jawaban.

Jernih dan bersih

Jernih dan bersih adalah persoalan penyelesaian yang tenang dan bebas intervensi kepentingan atau motif apapun. Pikiran yang jernih dan bersih tidak pernah bermuatan interpretasi yang dipenuhi oleh “kosmetik” kosong (cosmetics of nothing). Pikiran yang jernih dan bersih selalu “lurus”, bebas arogansi dan tidak pernah bisa diintervensi oleh ambisi-ambisi ekonomis sekalipun.

Jernih dan bersih sebagaimana sumber air yang nampak begitu bening sehingga mampu menampakkan panorama yang berada di dalamnya. Kejernihan itu bisa membuka mata untuk melihat jauh obyek yang ada dibaliknya.

Manusiapun mulai belajar untuk merenungkan makna di balik terjadinya peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan. Awal dari pembelajaran untuk dapat mengalami pencerahan di balik terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut adalah menemukan sebuah makna. Peristiwa-peristiwa tersebut memberi arti apa dalam hidup ini. Sebuah realitas yang tidak dapat dihindari dan dicegah. Bahkan, kitapun yang mungkin tidak mengalami secara langsung tidak dapat menghindarkan diri untuk “dikondisikan” turut menemukan makna.

Sebuah peristiwa akan membawa makna yang berbeda bagi setiap individu. Secara subyektif sebuah peristiwa akan dimaknai menurut tingkat kedalaman perspektif masing-masing individu. Bagi individu yang alam pikirnya (nature of thinking) didominasi oleh perspektif religius, maka makna dari sebuah peristiwa akan ditemukan setelah sejumlah konstruk dihubungkan secara vertikal dengan konsepsi “ketidakterbatasan” (ultimate concept). Individu yang dominan dengan perspektif ekonomis akan selalu “mempertanyakan” dengan menggunakan kalkulasi dan rasionalisasi ekonomis. Dominasi perspektif sains selalu menggunakan kerangka pikir (framework) saintifik.

Pernah pada suatu ketika terjadi bencana alam (calamity) secara berturut-turut dalam jarak waktu yang relatif berdekatan pada akhirnya “memaksa” individu untuk menemukan makna. Manusia-pun diajak untuk berpikir secara jernih dan bersih, mengidentifikasi sejumlah konstruk, menghubungkan satu konstruk dengan konstruk lainnya sekaligus mengidentifikasi hubungan antar konstruk. Proses itu akan mengantarkan kepada sebuah kebenaran (truth), yang dengan demikian akan menjadi jawaban.

Sebuah peristiwa selalu saja menarik untuk dikaji, secara ekonomis juga memiliki nilai jual. Perkembangan era informasi yang revolusioner menyebabkan informasi kemudian menjadi komoditas mengikuti “logika” pasar. Relevansinya adalah bahwa (seringkali) sebuah peristiwa akhirnya dikemas dalam bentuk infotainment karena “dipaksa” mengikuti mekanisme pasar. Berpikir jernih dan bersih adalah berpikir yang bebas logika pasar. Berpikir jernih dan bersih selalu menggunakan pertimbangan-pertimbangan “keterbatasan wilayah” perspektif yang tidak akan mampu memberikan jawaban “sempurna”.

Antara reflektif, jernih dan bersih

Reflektif adalah sarana untuk mencapai proses berpikir yang ideal. Reflektif dan bersih merupakan bentuk lain dari proses berpikir yang menyeluruh (comprehensive) dan bebas intervensi egoistis. Jernih tidak selalu bersih. Oleh karenanya maka jernih harus selalu diikuti oleh bersih. Berpikir secara jernih dan bersih adalah berpikir yang mampu menembus “kedalaman” sebuah persoalan secara jelas.

Kolaborasi reflektif, jernih dan bersih dalam proses berpikir akan dapat mencapai keutuhan (wholeness) pemahaman sebuah persoalan. Persoalan tidak akan dipahami secara parsial tetapi sebagai sesuatu yang utuh. Batas-batas persoalan menjadi lebih jelas sebagai upaya mencegah persoalan menjadi melebar.

Kolaborasi reflektif, jernih dan bersih dalam berpikir adalah manifestasi eksistensi sekaligus bentuk kontribusi pencerahan. Dengan berpikir akan menemukan permasalahan baru yang menarik untuk segera diselesaikan. Penyelesaian permasalahan melalui kegiatan berpikir tidak hanya berhenti pada sebuah jawaban tetapi justru memunculkan pertanyaan baru. Demikian seterusnya, berpikir sebagai sebuah siklus “mencari dan menemukan” yang terus bergerak seiring dengan eksistensi manusia untuk dapat diakui dan diterima. @ign_heri_sw/2010

Popular posts from this blog

ONE MORE ABOUT SPIRITUALITY...

A NEW DAY