DUNIA IMAJI

DUNIA IMAJI
ign heri sw

Berawal dari pertanyaan

Ketika orang-orang muda berhadapan dengan dunia imaji yang terdapat dalam sebuah kotak kecil ajaib yang bernama komputer ataupun televisi, muncul pertanyaan akankah dunia buatan yang tercipta atas kedahsyatan revolusi kreatifitas teknologi itu mampu menghadirkan tampilan emosional dan manusiawi? Akankah tampilan-tampilan itu kemudian berpotensi destruktif karena intervensi kepentingan pasar? Terkait dengan pangsa pasar potensial orang-orang muda, bagaimana menghubungkan karakter orang-orang muda tersebut dengan realitas dunia imaji? Artinya, apakah realitas dunia imaji mampu menghasilkan, membentuk karakter yang sangat spesifik pada orang-orang muda tersebut?

Tampilan yang penuh emosional dan manusiawi adalah kontinuitas hasil kreatifitas yang terus bereproduksi dengan kemampuan jelajah ke wilayah yang berorientasi pada kemanusiaan. Kotak kecil ajaib yang bernama komputer ataupun televisi telah mampu menghadirkan, memberi harapan, menjanjikan sebuah bentuk kehidupan baru (new life) yang mampu dikontrol dan direkayasa sesuai kebutuhan.

Dugaan bahwa tampilan-tampilan tersebut berpotensi destruktif dapat dijelaskan dari keberpihakannya kepada kepentingan pasar. Logika pasar adalah egoisme kepentingan penumpukan kapital yang tidak pernah memiliki titik akhir. Karena orientasi tersebut maka tampilan-tampilan dunia imaji yang dihasilkan melalui revolusi kreatifitas teknologi sarat bermuatan kepentingan akumulasi keuntungan material. Kepentingan akumulasi keuntungan material dapat mudah dilihat dari tampilan-tampilan yang bermuatan budaya material, mengajak pemirsanya belanja dan mengkonsumsi material dalam bentuk simbol-simbol.

Realitas dunia imaji adalah realitas buatan yang mencoba menghadirkan dan mewujudkan mimpi-mimpi indah yang seringkali tidak realistis. Mimpi-mimpi indah bahwa hidup yang ideal adalah mengkonsumsi (life is consuming). Obyek-obyek konsumtifpun diciptakan. Bagi yang tidak mau mengkonsumsi akan diabaikan, dikucilkan, ditinggalkan oleh komunitasnya. Secara ekstrim, bagi yang tidak mau mengkonsumsi akan dihilangkan identitas sosialnya. Sebuah konsekuensi yang cukup berat mesti ditanggungkan kepada konsumen.

Persoalan dunia imaji tidak akan pernah selesai apabila pemirsa (audience) tidak segera dicerdaskan oleh konsekuensi logis dari tayangan-tayangan berbau konsumtif tersebut. Orang-orang muda merupakan target pasar yang potensial karena karakter bawaan yang sangat terbuka dan mudah beradaptasi terhadap perubahan. Karakter ini kemudian ditangkap oleh mekanisme pasar dan “tangan-tangan tak kelihatan” untuk mengedukasi orang-orang muda tersebut menjadi lebih konsumtif.

Muda dan muda(h)

Orang-orang muda (young people) adalah orang-orang yang penuh energi dan vitalitas untuk berpartisipasi dalam budaya perubahan. Pada tingkat emosional yang relatif belum stabil memberi ciri resistan terhadap perubahan itu sendiri. Artinya, orang-orang muda yang sebagian besar berada pada tingkat emosional yang labil menjadi sangat resistan, yaitu mudah menerima sekaligus mudah menolak terhadap perubahan. Sebagai sebuah kesempatan bagi pasar untuk mengintervensi ciri-ciri resistan pada orang-orang muda tersebut, maka dibentuklah karakter buatan (artificial character) dengan segala atribut idola (idol attribute) yang melekat dalam karakter tersebut.

Banyak karakter buatan diarahkan pada karakter “kemudahan” dengan budaya “hidup penuh dengan kemudahan”. Semuanya “mudah” diakses, didapatkan, dan dikonsumsi sebanyak yang diinginkan. Karakter kemudahan ini banyak memberi inspirasi pada produk-produk konsumtif yang sangat inovatif dengan segala bentuk kemudahan yang ditawarkan (mudah dipakai, mudah didapatkan, dan mudah dikenali).

Dengan kata lain orang-orang muda adalah orang-orang yang selalu menuntut kemudahan. Mudah dalam memperoleh apapun yang diinginkan. Pada tataran lain “mudah” adalah juga “cepat dan instant”. Kemudahan untuk diakses karena cepat. Budaya cepat adalah budaya instant yang kemudian menjadi wabah yang sulit untuk dihilangkan bagi semua kalangan. Semua orang menginginkan untuk dapat dilayani secara cepat dengan pengorbanan sekecil-kecilnya (sacrificing less).

Muda dan mudah adalah dua kata kunci yang memiliki relasi komplementer (complementary relationship), yaitu relasi yang saling melengkapi. Muda (young) dalam konteks orang-orang muda (young people) adalah sebuah spirit yang terus bergejolak, tidak pernah diam, tidak pernah tenang. Sosok yang penuh energi untuk mengalahkan dirinya. Banyak tantangan bermunculan dan semuanya itu ingin dilalui dan dikalahkan. Sedangkan mudah (easy) merupakan medium yang sarat bermuatan kecepatan yang tidak mengenal waktu (timeless). Kemudahan (easiness) adalah spirit untuk tidak mempersoalkan persoalan-persoalan esensial yang seringkali membutuhkan kedalaman berpikir. Kemudahan (easiness) adalah kedangkalan atau pemendekan jarak yang menghubungkan titik ego dengan titik idealisme. Idealisme yang pencapaiannya tidak membutuhkan proses lama karena nir-waktu (timeless). Oleh karena itu seringkali kemudahan identik dengan instan. Ketika kemudahan dan instanisasi menjadi sebuah acuan (orientation) dalam berpikir dan berperilaku, maka munculah budaya. Budaya instan adalah budaya kemudahan, budaya pemendekan, budaya yang mengabaikan proses maupun waktu. Muda dan mudah memiliki relasi saling melengkapi dapat dibaca ketika orang-orang muda (young people) dengan segala karakter bawaannya secara tidak sadar membutuhkan budaya kemudahan untuk mewujudkan ambisi-ambisinya. Ada dorongan yang bersifat naluriah untuk selalu berpikir mudah dan cepat dengan menggunakan berbagai macam cara.

Dunia imaji dan budaya kemudahan

Dunia imaji adalah dunia buatan (artificial) yang berisi janji dan harapan. Karena sifatnya yang artifisial maka nilai-nilai orisinalitas yang dibawa sejatinya adalah orisinalitas artifisial yang dipenuhi pesan-pesan penciptanya (the creator). Oleh karena itu dunia imaji selalu berpihak pada kepentingan penciptanya. Dalam tataran lingkungan yang berciri material, maka idealisme sang pencipta (the creator) kemudian dikalahkan oleh nilai-nilai ekonomis. Dapat dikatakan disini sebenarnya dunia imaji lebih memihak kepada kepentingan pasar. Dan, ketika kepentingan pasar menjadi acuan maka yang terjadi adalah tuntutan peran dunia imaji tak lebih dari sekedar produk untuk selalu cepat dapat diperbaharui mengikuti selera pasar.

Dunia imaji terus berkreasi mengikuti tuntutan pasar. Kreatifitas kemudian juga mesti disesuaikan dengan pasar. Tren film-film animasi adalah salah satu contoh dimana kreatifitas dunia imaji tidak lagi harus berurusan dengan dunia riil. Kreatifitas sudah melampaui batas-batas rasionalitas. Pemirsapun kemudian dengan mudah diajak masuk ke wilayah irasionalitas yang memang dipenuhi oleh mimpi, harapan dan segala bentuk budaya dan ekstasi “kemudahan”.

Karakter dibentuk oleh kebiasaan untuk mengkonsumsi tayangan-tayangan yang ditampilkan oleh dunia imaji. Tayangan-tayangan berciri kekerasan dan kejahatan akan melahirkan karakter yang selalu mengadopsi nilai-nilai “negatif” kekerasan dan kejahatan. Sebaliknya tayangan-tayangan yang mempromosikan nilai-nilai kebaikan, ketulusan dan kejujuran akan membentuk karakter yang selalu menerapkan nilai-nilai “positif” kebaikan, ketulusan dan kejujuran.

Dalam berbagai kesempatan Penulis mengamati perkembangan pola pikir dan perilaku orang-orang muda di beberapa negara Asia seperti Indonesia, Singapura, Malaysia dan Filipina pola-pola konsumsi dunia imaji sangat dipengaruhi oleh kesempatan dan kemampuan untuk mengakses. Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat dan revolusioner membuat informasi menjadi semakin mudah untuk diakses melampaui batas-batas geografis. Perkembangan itu kemudian juga menimbulkan kedahsyatan “gelombang besar” informasi yang tidak lagi mampu diseleksi. Semua informasi kemudian menjadi penting dan dibutuhkan walaupun itu masih dipertanyakan. Artinya, apakah informasi yang diakses dan akhirnya dikonsumsi tersebut memang dibutuhkan. Fenomena ini mirip dengan konsepsi impulse buying atau kecenderungan untuk secara tidak sadar membeli ataupun mengkonsumsi produk tertentu.

Orang-orang muda yang sangat techie merupakan output dari kreatifitas dunia imaji yang tidak pernah selesai. Apabila karakter dari teknologi adalah kecepatan dan ketepatan (accuracy) maka techie dapat dibaca sebagai karakter yang selalu menginginkan kemudahan. Kecepatan dan ketepatan adalah bahasa lain dari pemotongan, pemendekan, atau penyederhanaan waktu proses (processing time).

Akhir dunia imaji

Menjadi menarik untuk disinggung kemana akhir dunia imaji. Apabila siklus dunia imaji mampu dipertahankan karena mekanisme pasar, yaitu ketika dunia imaji tetap dibutuhkan dan dikonsumsi untuk alasan yang rasional dalam relasi supply-demand, maka tidak akan pernah ada titik akhir eksistensi dunia imaji. Sebagai sebuah realitas, maka dunia imaji tidak akan pernah mati. Dia akan terus berevolusi mencari wajah-wajah baru.

Dunia imaji adalah produk kreatifitas. Manusia dengan karakter curiousity-nya terus akan berkreasi. Dan, apabila kreatifitas itu secara esensial merupakan bagian dari relasi supply-demand maka kreatifitas menjadi tidak obyektif. Kreatifitas yang subyektif patut diwaspadai membawa virus-virus perubahan yang bersifat destruktif, merusak, menghilangkan nilai-nilai orisinalitas peradaban manusia.

Dengan logika kreatifitas subyektif, maka dunia imaji memang terus berkreasi menjadi teman virtual, namun kreasi itu kelak akan bersifat destruktif, yaitu merusak hubungan manusia secara sosial. Esensi manusia secara sosial akan digantikan esensi virtualitas yang sebenarnya adalah semu (pseudo), buatan (artificial), serta sarat dengan kepentingan keseimbangan pasar (market equilibrium).

Dunia imaji juga akan terus menjual mimpi dan harapan. Pasarpun akan menjadi semakin responsif. Tayangan-tayangan semakin laris dengan muatan (content) futuristis yang mampu menyediakan wisata khayalan (imaginative tourism), membawa pemirsa kepada dunia kreatifitas. Sebuah tawaran untuk memasuki dunia alternatif (alternative world) terutama bagi mereka yang lelah dan pesimis terhadap realitas dunia nyata.
(@ign_heri_sw/2010)

Popular posts from this blog

A NEW DAY

ONE MORE ABOUT SPIRITUALITY...