ANALOGI PAVLOV DAN XIXO DALAM PENDIDIKAN

Analogi Pavlov dan Xixo dalam Pendidikan

Ign Heri Satrya Wangsa

ignherisw@gmail.com / ignheri@yahoo.com / www.simplicityforyourlife.blogspot.com

Seorang psikolog Rusia, Ivan P. Pavlov, berhasil memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1904 melalui penelitian terkenalnya mengenai fisiologi pencernaan. Demikian penelitian tersebut dinamakan eksperimen Pavlov.

Eksperimen dilakukan sebagai berikut: setiap kali Pavlov memberi makan anjing, maka anjing itu mengeluarkan air liur ketika melihat makanan disuguhkan. Pada saat Pavlov menyuguhkan makanan, bersama itu pula dia membunyikan bel. Eksperimen itu terus dilakukan berulang kali, yaitu ketika Pavlov menyuguhkan makanan, pada saat itu pula bel dibunyikan. Hasil eksperimen itu adalah ketika anjing mendengar bunyi bel yang sama, air liur akan keluar walaupun dihadapannya tidak tersaji makanan. Dalam eksperimen ini Pavlov berhasil mengkondisikan bunyi bel sebagai perangsang untuk mengeluarkan air liur anjing. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan Pavlov adalah proses psikis identik dengan proses fisiologis di dalam otak, dan bahwa hal ini dapat diselidiki secara eksperimental lewat pengkondisian (Chaplin, 1968)

Film The Gods Must be Crazy yang dirilis tahun 1980-an pernah meraih predikat the most popular movie di beberapa negara. Film ini berlatar belakang kehidupan sosio-kultural masyarakat di Gurun Kalahari, Namibia, Afrika Selatan. Cerita dimulai pada suatu pagi, Xixo, sang ketua suku San, melihat “benda” yang diturunkan oleh “para dewa” dari langit, di wilayah perburuannya. Sang “benda” yang ternyata botol Coca Cola kosong ini dilempar keluar kokpit oleh seorang pilot pesawat terbang pribadi yang kebetulan melintas di atas Gurun Kalahari. Bagi Xixo, pesawat terbang ini terlihat sebagai kepulan asap putih yang menggores di langit yang biru dan cerah, sembari merambatkan suara yang bergemuruh. Xixo dan komunitasnya tidak pernah melihat botol Coca Cola, maupun pesawat terbang. Suara bergemuruh di udara dipersepsikan sebagai tindakan para dewa dan botol Coca Cola ini sebagai benda yang diturunkan oleh para dewa kepada komunitasnya.

Setibanya di tengah-tengah warga sukunya, Xixo menceritakan pengalaman anehnya itu dengan menanyakan di antara komunitasnya apakah ada yang telah mengenal kegunaan “benda” pemberian dewa tersebut. Hasilnya nihil. Tidak satupun dari para anggota suku San yang pernah melihat “benda” asing itu sebelumnya. Namun demikian, dilandasi kepercayaan akan itikad baik para dewa, warga San tidak kehilangan harapan. Dengan sabar mereka terus berusaha mencari tahu kegunaan “benda” asing itu. Satu per satu, secara bergiliran, para anggota suku San memegang benda misterius tersebut, mengamat-amatinya, mengutak-atik dan mencoba-coba. Apa yang terjadi kemudian adalah sesuai yang di luar dugaan masyarakat modern, sesuatu yang ajaib! Mereka berhasil menemukan beberapa inovasi melalui “benda” misterius itu.

Inovasi yang pertama ditemukan oleh seorang sesepuh suku, yang mendapati bahwa benda itu dapat difungsikan sebagai alat musik tiup. Sang sesepuh ini lantas memeragakan bagaimana ia bisa bermain musik dengan “benda” pemberian dewa itu. Inovasi kedua ketika kaum mudanya beraksi. Mereka berhasil mendapati kegunaan “benda” itu, tetapi bukan sebagai alat tiup. Bagi mereka, pemberian dewa itu merupakan alat untuk menggosok dan menghaluskan kulit ular, yang nantinya kulit ini mereka pakai sebagai aksesori.

Proses inovasi terus berlangsung. “Benda” dari dewa itu berpindah lagi ke tangan-tangan lain, kegunaan-kegunaan baru yang lain masih didapatkan lagi. Kaum ibu mendapati kegunaan sebagai alat untuk membuat cetakan lingkaran-lingkaran yang dihasilkan, mereka mendapatkan ikat kepala yang lebih indah. Kegunaan lain lagi yang berhasil didapatkan adalah sebagai alat pukul, alat penggosok, dan alat penuang air (tetapi bukan untuk minum sebab suku San hanya minum melalui dedaunan). Dalam waktu yang tidak lama, warga suku San telah dapat memecahkan misteri “benda” itu dan mereka senang karena telah dapat menemukan banyak manfaat dari pemberian dewa. (uraian dikutip dari Seri Penerbitan Sains, Teknologi, dan Masyarakat tahun 2002)

Kemapanan dapat dipahami sebagai sesuatu yang lumrah, kepercayaan-kepercayaan (beliefs) yang hidup di masyarakat. Kemapanan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat pendidik (baca: guru) di Indonesia adalah sebuah bentuk totalitas kepasrahan, ketidakberdayaan melawan sebuah sistem. Kemapanan karena nilai-nilai kultural yang sangat kuat membelenggu melalui label-label sosial yang (seringkali dipaksakan) dikenakan. Tut wuri handayani memberi pengertian sebagai guru yang harus “digugu” (diperhatikan) dan “ditiru” (dicontoh). Guru dalam simbol kesempurnaan adalah pengajar dan pendidik yang menjadi panutan, dan figur sosial (social figure).

Kemapanan dalam bentuk lain adalah ketika sekolah menjadi tuntutan untuk menyediakan kegiatan pembelajaran, pendidikan untuk menghasilkan manusia-manusia unggul. Dalam pandangan budaya komoditas (commodity culture), manusia-manusia produk pendidikan dihadapkan pada tuntutan pasar (market oriented) menjadi sumber daya yang berdaya saing (competitive resource) dan aset bernilai jual.

Ada lagi kemapanan pemahaman yang kontradiktif ketika guru dimaknai sebagai sebuah profesi yang tidak mampu memberi harapan secara ekonomis. Profesi yang selalu dikalahkan dalam wacana mekanisme pasar (market mechanism). Bekerja dan berkarir sebagai guru tidak lagi mampu memberikan citra atau konotasi positif kesejahteraan. Karir itu hanyalah pilihan kedua (second choice) yang memang dimatikan dalam persepsi ketidakberdayaan, pahlawan tanpa tanda jasa.

Apa hubungan antara eksperimen Pavlov, Xixo dan kemapanan? Pavlov Must be Crazy, artinya Pavlov dengan eksperimennya yang mencoba men-dekonstruksi nalar. Sebuah komitmen dan upaya yang dilatarbelakangi oleh nalar yang sangat ketat. Dan, pendidikan ketika ditempatkan dalam ruangan Pavlov ternyata bisa memberi pemahaman alternatif bagi problematik pendidikan.

Pavlov dan Xixo merupakan tokoh sentral dalam ceritanya masing-masing, dimana representasi eksistensinya mampu memberi gambaran logis bagi penyelesaian kerumitan “simpul-simpul” intervensi kepentingan dalam pendidikan.

Xixo dalam lakon The Gods Must be Crazy telah memberi pencerahan bagi komunitasnya untuk melakukan inovasi. Botol Coca Cola kosong telah memberi jalan bagi hidupnya untuk bertemu dan berkompromi dengan realitas yang sama sekali baru bagi diri maupun lingkungannya. Berawal dari rasa ingin tahu, proses inovasi muncul. Totalitas Xixo adalah kesederhanaan sebuah komitmen, kemauan, dan persepsi positif terhadap sebuah realitas baru, yaitu bahwa “benda” tersebut merupakan sebuah pemberian yang tulus dari para “dewa”, dan oleh karenanya perlu dihargai.

Pavlov dengan eksperimennya membuktikan bunyi bel akan menjadi stimulus bagi anjing untuk memberi respon dengan mengeluarkan air liur. Bunyi bel menjadi stimulus yang efektif untuk menggantikan “sementara” makanan. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai kapan anjing tersebut bisa “dikondisikan” seperti itu? Atau justru sebaliknya, pembelajaran yang dilakukan Pavlov telah membuatnya mampu melakukan analogi bunyi bel sebagai makanan, sehingga kelak si anjing (mungkin) akan mati karena tidak pernah diberi makanan.

Permasalahan pendidikan adalah permasalahan guru

Dalam konteks guru yang prihatin terhadap nasibnya adalah bahwa kemapanan telah memberi pembelajaran bagi guru untuk “melakoni” perannya. Kemapanan karena terbelenggu label-label sosial menuntut guru untuk memberi yang terbaik dalam menjalankan profesi maupun perannya. Tuntutan menjadi sosok ideal di satu sisi dan terbatasnya kapasitas intelektual di sisi lain adalah karena persoalan hambatan bagi akses ke arah pengembangan sebagai modal intelektual. Artinya, guru mesti mengakumulasi modal intelektualnya untuk memformat harga. Rendahnya posisi tawar guru karena tidak memiliki nilai jual.

Sekolah sebagai ruang formal bagi aktualisasi peran guru juga telah diintervensi oleh negara dalam bentuk target dan tujuan menghasilkan manusia yang memiliki daya saing. Inipun sebuah kemapanan pemahaman yang menempatkan guru pada akhirnya sebagai “alat” bagi kepentingan negara.

Eksperimen Pavlov adalah persoalan pendidikan. Konsepsi stimulus-respon berhasil dijungkirbalikkan melalui eksperimen ini. Pendidikan yang memprihatinkan adalah pendidikan yang dijadikan “eksperimen”. Bongkar pasang kebijakan sebenarnya adalah persoalan eksperimen yang tidak pernah menyelesaikan persoalan namun menjanjikan harapan yang tidak pernah dapat diwujudkan.

Pendidikan sebagai sarana strategis meningkatkan kualitas manusia telah dibebani oleh banyak kepentingan. Awalnya kepentingan negara dan masyarakat, yang kemudian berakhir pada kepentingan guru itu sendiri, kemana lagi kalau tidak urusan kesejahteraan.

Atas nama kesejahteraan telah memangkas kreatifitas dan potensinya sebagai sosok pembelajar. Guru yang pembelajar akan terus berjuang keluar dari pemahaman sempitnya tentang kemapanan.

Sosok Xixo adalah stimulus terjadinya serangkaian proses inovasi yang mengalir apa adanya berawal dari sebuah realitas. Dalam konteks pendidikan telah muncul realitas baru bahwa problematika manusia sebenarnya adalah pendidikan yang tidak pernah dihargai pada tempatnya.

Pavlov dengan eksperimennya mampu membuktikan bahwa mindset pembelajar bisa ditumbuhkan melalui sebuah “rekayasa” yaitu harapan dan persepsi positif. Artinya, harapan dan persepsi positif ditempatkan sebagai stimulus yang dikondisikan untuk menumbuhkan mindset pembelajar. Mindset pembelajar merupakan mekanisme bagi kegiatan pembelajaran secara sadar (conscious learning mechanism) ke arah tercapainya akumulasi modal intelektual. Dalam ruang pemahaman kapitalisme, modal intelektual yang memadai akan menghasilkan posisi tawar (bargaining power) yang kuat. Tidak ada lagi tuntutan kesejahteraan karena mekanisme pasar (market mechanism) telah berpihak pada mereka yang memiliki modal intelektual.

Gurupun kemudian mampu membuat karya yang memiliki nilai ekonomis (economic value). Tidak lagi mempersoalkan harkat dan martabatnya tetapi karya-karya aktual yang diperlukan oleh lingkungan. Rutinitas kegiatan belajar mengajar yang “membelenggu” secara tidak langsung kemudian beralih menjadi aktivitas “yang membebaskan”. Berkarya juga persoalan inovasi yang (mestinya) terus dilakukan sebagai bentuk aktualisasi “membebaskan” rasa keingintahuan

Dengan demikian eksperimen Pavlov tidak berakhir pada kematian si anjing (mungkin karena tidak mampu meyakinkan tuannya), namun Pavlov yang akhirnya berbelas kasih untuk memberikan makanan yang sebenarnya. Xixo juga tidak perlu merasa heran dan bertanya lagi bila para dewa menjatuhkan banyak “botol”. Dengan demikian “misteri” problematika pendidikan di negeri ini bukan lagi sebuah sinisme yang tidak bisa diselesaikan.©ign.heri.sw./2010

Popular posts from this blog

A NEW DAY

INTELLECTUAL GIPSY