MASYARAKAT BARU

MASYARAKAT BARU
Ign. Heri S. Wangsa

Dunia alternatif

Craig Watkins (2009) melalui bukunya The Young and The Digital menjelaskan bagaimana orang-orang muda di era budaya digital (digital culture) membentuk masyarakat baru (new society) dalam dunia online (online world).

Watkins memperkenalkan beberapa terminologi dalam konsepsi masyarakat baru (new society) seperti second lives dan new world. Telah terbentuk dunia alternatif, komunitas baru, komunitas impian melalui proses pembelajaran yang dilakukan oleh orang-orang muda (young people). Mereka sangat cepat menyerap dan mengadopsi hal-hal baru yang didasari rasa keingintahuan (curiosity) yang sangat kuat. Kemana arah dunia alternatif yang dirintis oleh orang-orang muda ini?

Sangat menarik untuk mengikuti fenomena ini. Nampak terdapat korelasi antara orang-orang muda dan perkembangan teknologi informasi. Orang-orang muda menjadi pasar bagi berbagai macam produk dari perkembangan teknologi informasi. Mereka adalah konsumen yang sangat loyal karena esensi teknologi yang terus hidup dengan aspek kreatifitas dan inovasinya. Orang-orang muda adalah mereka yang sangat concern dengan dinamika. Teknologi dengan aspek kreatifitas dan inovasinya mampu menawarkan dinamika, yaitu kehidupan baru dalam dunia alternatif dimana kebutuhan untuk menjalin relasi secara sosial dapat dipenuhi secara virtual melalui dunia online (online world).

Disamping sebagai pasar yang aktif, orang-orang muda adalah subyek atau pelaku utama yang turut menentukan arah perkembangan teknologi informasi.

Dunia online adalah dunia virtual dimana masyarakat punya kesempatan menggunakan teknologi untuk membentuk jaringan sosial (social networking) sebagaimana dalam dunia nyata (real world). Dunia virtual adalah bahasa lain dari masyarakat diam (silent society) dimana interaksi dilakukan tanpa melibatkan pertemuan secara fisik (physical appearance). Silent society ini memiliki kekuatan revolusioner untuk menggerakkan massa secara diam-diam melalui kegiatan tukar menukar ide atau gagasan (sharing ideas) dalam waktu yang relatif cepat.

Konsumen yang terus belajar

Munculnya gadget dengan berbagai macam variasi fitur menyebabkan konsumen terus belajar. Produk-produk itu memotivasi pemakainya untuk terus belajar. Dan, proses pembelajaran itu, disadari atau tidak, turut menentukan perkembangan munculnya generasi digital (digital generation). Dampak positif dari perkembangan teknologi adalah motivasi untuk terus belajar. Walaupun akhirnya pembelajaran tersebut menjadikan mereka tak lebih dari sekedar konsumen atau pemakai. Produk-produk berteknologi tinggi menyediakan otomatisasi kemampuan akses informasi. Dengan segala atribut kepraktisan, kemudahan, kecepatan, akurasi, dan kenyamanan, produk-produk itu telah menjadi bagian dari keseharian.

Konsumen pembelajar terus dibentuk sebagai pengguna yang loyal dan bahkan adiktif (addictive). Teknologi itu telah membentuk masyarakat pembelajar yang terus belajar terhadap produk-produk yang cepat sekali mengeluarkan seri dan versi-versi terbaru. Mereka diajak belajar sekaligus mengkonsumsi agar menjadi konsumen yang baik. Pembelajaran bermotif konsumtif.

Dampak lain dari munculnya konsumen pembelajar adalah budaya berpikir praktis dan instan. Atribut kepraktisan, kemudahan, kecepatan, akurasi, dan kenyamanan ternyata menjadi benih bagi tumbuhnya budaya yang serba cepat. Orientasi waktu (time orientation) dan efisiensi menjadi ukuran ideal. Oleh karenanya waktu harus digunakan secara efisien. Waktu menjadi sumber daya (resource) yang diparalelkan dengan akumulasi kapital. Semakin efisien pengelolaan dan penggunaan waktu, semakin besar tingkat akumulasi kapital yang dapat diperoleh. Konsumen pembelajar adalah mereka yang terus menerus mengikuti perkembangan kecanggihan teknologi karena tuntutan lingkungan ber-gadget. Lingkungan itu sudah disesaki oleh sang mediator, yakni medium atau sarana untuk mengakses informasi. Medium itu juga telah menjadi alat bantu untuk dapat diterima secara sosial.

Fenomena konsumen pembelajar merupakan konsekuensi masa transformasi, peralihan dari pola pikir tradisional konvensional ke modern. Modernisasi ditandai dengan cara pandang, pola pikir dan metode baru. Modernisasi dan konsumen pembelajar dapat dijelaskan melalui sejumlah upaya kompromistis terhadap perubahan. Kompromi terhadap perubahan adalah bentuk lain budaya fleksibilitas, yakni fleksibel atau kelenturan penyesuaian. Akhirnya perubahan itu direspon secara damai.

Aleksander Hemon (2010) dalam Best European Fiction 2010 menjelaskan bagaimana cerpen-cerpen karya para pengarang Eropa memberi petunjuk pada sedang terjadinya dinamika transformatif budaya di Eropa. Melalui karya-karya tersebut ditunjukkan bagaimana terjadinya aliran perubahan (flow of change) menuju ke sebuah integrasi. Ada upaya untuk membentuk identitas baru. Ada keinginan untuk terus berubah menuju sebuah kehidupan baru melalui kompromistis jembatan penghubung avant garde dan mainstream. Terjadi dinamika fragmentasi, interaksi dan integrasi. Meminjam analogi Hemon, fenomena konsumen pembelajar adalah bagian dari dinamika aktivitas bernilai ekonomis-komersial dalam sebuah siklus dimana konsumen akhirnya menjadi pembelajar untuk lebih konsumtif. Dari konsepsi semula yang menempatkan konsumen sebagai obyek pasif menjadi subyek aktif. Semula adalah sangat jelas terjadi pemisahan fungsi antara konsumen sebagai obyek dan produsen sebagai subyek, namun sekarang fungsi obyek-subyek sudah terintegrasi. Konsumen adalah sekaligus produsen bagi dirinya sendiri.

Konsumen pembelajar dalam masyarakat pembelajar adalah perubahan revolusioner yang ditandai oleh kreatifitas berkelanjutan. Ditandai oleh munculnya berbagai macam terminologi. Berkaitan dengan terminologi, Paul Greenberg (2010) dalam Customer Relationship Management at the Speed of Light mengatakan bahwa struktur terminologi membawa konten yang berbeda. Era perubahan itu adalah perubahan terminologi, perubahan yang semakin mengembalikan kepentingan konsumen berikut sistem yang memfasilitasi berbagai macam perilakunya. Perubahan terminologi adalah indikasi proses pembelajaran. Melalui “kosa kata” baru konsumen difasilitasi sekaligus dikondisikan untuk belajar. Apa yang dikatakan Hollis Thomases (2010) dalam Twitter Marketing adalah bahwa atas nama “kecepatan” yang bernilai ekonomis, maka pembelajaran itu adalah belajar untuk berkomunikasi secara efektif, pandai meringkas informasi sampai pada “inti persoalan”. Semua dipahami secara ekonomis, memberi yang terbaik bagi orang lain atas nama pertukaran ekonomis.

Era digital memicu cara berpikir (the way to think). Melalui dunia alternatif – dunia virtual, kreatifitas justru dihasilkan dari ketidakteraturan, ketidakpastian. Sharon Begley dalam artikelnya Does the Web Change How We Think (Newsweek/January 18, 2010) mempertentangkan pendapat-pendapat Joshua Greene (neuroscientist Harvard University), Mihaly Csikszentmihalyi (psychologist Claremont Graduate University) dan Haim Harari (physicist). Apakah internet mempengaruhi cara kita berpikir? Namun kemudian dapat dijelaskan “jalan tengah” dari perbedaan pendapat-pendapat tersebut, bahwa era internet secara tidak langsung menghasilkan creativity by destruction, yakni kreatifitas yang diperoleh melalui proses menghilangkan, mengabaikan informasi-informasi yang tidak penting (unnecessary information). Proses tersebut terjadi melalui “pemaksaan” untuk memilah-milah informasi “inti” diantara tumpukan informasi “sampah”, dimana daya nalar murni (pure logic) mengalami “benturan” dengan hal-hal yang tidak penting (unseriously matter). Benturan ini disebut oleh Nassim Taleb, pengarang The Blackswan, sebagai ilusi pengetahuan (illusion of knowledge).

Jalan Tengah

Revolusi kreatifitas menyebabkan munculnya gadget berteknologi tinggi. Piranti yang sangat dibutuhkan, menjadi bagian dari keseharian kebutuhan untuk dapat diterima secara sosial. Revolusi kreatifitas juga memicu pembelajaran karena gadget-gadget itu dibuat secara serial, setiap saat memiliki versi yang saling melengkapi (complementary). Versi terkini menjadi pelengkap dari versi sebelumnya. Setiap saat muncul fitur-fitur baru. Terjadilah pembelajaran dan konsumen yang terus belajar.

Masyarakat baru itu adalah komunitas konsumen yang umumnya orang-orang muda (young people). Karakter tingkat keingintahuan yang tinggi (high curiousity) adalah tipikal orang-orang muda yang selalu memperbaharui pola pikir “mengejar ketertinggalan”. Menjadi sebuah budaya untuk terus mengenakan atribut kebaruan (newness). Kebaruan menjadi tujuan konsumsi, oleh karenanya revolusi kreatifitas yang selalu menciptakan “kebaruan” terus dicari, dipelajari, dan dipakai. Karakter keingintahuan yang tinggi menjadi label pasar yang aktif, bahkan reaktif karena respon yang cepat.

Kemana arah perubahan? Revolusi kreatifitas menuju pertukaran secara ekonomis. Artinya, setiap saat kreatifitas menghasilkan gadget baru maka gadget itu harus mampu dipertukarkan dalam mekanisme pasar. Energi daro revolusi kreatifitas adalah pasar yang responsif, sebagai masyarakat pengguna yang loyal. Untuk itu dibuatlah impiah, sebuah medium menuju dunia alternatif, ruang ideal yang mampu diterima secara personal. Ruang ideal itulah yang menyebabkan munculnya rasa keingintahuan yang tinggi untuk memotivasi pembelajaran. Selamat datang masyarakat baru di era pembelajaran.(ign_heri_sw/2010)

Popular posts from this blog

A NEW DAY

ONE MORE ABOUT SPIRITUALITY...