ENERGI KEMENANGAN POLITIS
Ignasius
Heri Satrya Wangsa*)
*) Peneliti tinggal di Nabawan-Sabah/Malaysia
LEADING:
Tak mengherankan seperti dikatakan Chris
Paten (2008) dalam What Next? Surviving
the Twenty-first Century, bahwa politik sebenarnya adalah sarana untuk
memuaskan keserakahan dan ambisi melalui absolutisme otoritas yang seringkali
memihak pada kepentingan sektoral. Melalui politik diketahui dalam diri manusia
sarat keruwetan keinginan (wants) dan
kebutuhan (needs).
GAGASAN:
Kekalahan
sebagai “komoditas” dibutuhkan oleh sang pemenang untuk menempati
kemenangannya.
Karena
kemenangan itu memiliki nilai ekonomis tinggi maka dia (baca:
kemenangan) harus selalu diproteksi, dilindungi. Untuk itu memerlukan biaya
yang cukup mahal.
Mungkin yang
dibutuhkan bukan keramahan dalam bentuk senyuman manis seperti itu namun
keseriusan memberdayakan, membuat orang lain menjadi semakin independen,
“mengerti”, dan akhirnya kemampuan menentukan sendiri pilihan terbaiknya.
KEYWORD:
Energi kemenangan politis
Budaya kuantitas
Berpikir
sebagai yang dikalahkan mungkin tidak pernah terlintas. Jangan pernah berpikir tentang
kalah, tapi berjuanglah semaksimal
mungkin untuk merebut kemenangan, demikian yang selalu didengungkan. Lebih
ekstrim, bagaimana mungkin berpikir tentang kekalahan kalau biaya investasi untuk
mencapai kemenangan telah dikeluarkan dalam jumlah besar.
Gemerlap
kemenangan adalah suka cita dan pujian. Dia selalu dicari karena menyenangkan,
menggembirakan, memberi kebanggaan sekaligus harapan.
Sebaliknya,
realitas kalah nampaknya pahit. Mana ada yang mau dikalahkan. Makna emosional
kalah adalah kekurangan, keburukan, ditinggalkan dan diabaikan sehingga
kekalahan harus dihindari. Pemenang juga relatif mendapat ganjaran lebih baik
daripada yang kalah. Ada kesenjangan dalam menang-kalah. Menang dan kalah
adalah dua makhluk yang dibedakan oleh persepsi. Masyarakat sendiri membentuk
itu. Mereka menyediakan pengakuan yang berbeda. Pemenang ditempatkan “lebih
tinggi”. Padahal, apabila ditelusuri lebih dalam sebenarnya menang-kalah adalah
persoalan kuantitas. Pemenang memiliki nilai angka yang lebih besar daripada
yang kalah. Angka yang lebih besar diberikan
kepada pemenang sedangkan angka yang lebih kecil buat yang kalah. Itulah budaya
material.
Dalam
perspektif menang-kalah, kalau semua ingin jadi pemenang lalu siapa yang (mau)
menjadi yang dikalahkan? Kemenangan menyisakan “kepedihan” (bagi yang
dikalahkan) setelah melalui proses selektifitas kompetitif.
Ada pihak
yang kalah, ada pihak yang menang.
Aturan mainnya sudah jelas. Namun seringkali pihak yang kalah mempertanyakan kekalahannya.
Bahasa lainnya adalah mengklaim kekalahan sebagai perlakuan yang tidak fair. Sebaliknya hampir tidak pernah
pihak yang menang mempertanyakan, mempermasalahkan ataupun me-review kemenangannya. Klaim kemenangan dibanggakan
namun kekalahan hampir tidak pernah diterima (dan disyukuri) bahkan menyisakan perselisihan.
Pihak yang menang selalu “berpikir positif” atas kemenangannya, sebaliknya pihak
yang kalah (biasanya) selalu kecewa dengan kekalahannya.
Format “pesta”
Euphoria kontes
pemilihan calon-calon pemenang adalah pesta yang selalu harus dirayakan. Gemerlap
kontes dimana publik menemukan idola yang diharapkan memberi harapan, membela, dan memperhatikan kepentingan-kepentingannya.
Pesta
selalu menginginkan sukacita, kemeriahan, keramaian. Para tamu mengenakan
pakaian terbaik. Mereka bersolek. Sang tuan rumah menghias, menempatkan
pernak-pernik hiasan untuk menghormati tamu-tamunya. Dekorasi panggung acara
dibuat menarik, mengundang empati. Panggung hiburan menampilkan para selebritis,
mempromosikan berbagai pesanan kepentingan.
Tidak
sedikit biaya yang mesti dikeluarkan untuk itu oleh sang tuan rumah. Bahkan berspekulasi,
semakin besar porsi perhatian yang menempatkan orang sebagai tamu terhormat
semakin yakin akan balasan yang lebih besar pula. Totalitas memberi yang
terbaik bagi orang lain dilandasi oleh keyakinan akan mendapatkan respon yang
baik pula. Totalitas ini juga seringkali
dinilai irasional-ekonomis. Pesta diselenggarakan semeriah mungkin
sebagai “investasi” mahal dan harus memiliki prospek nilai “balik”. Tidak luput
pula bahwa pesta itu mesti membawa kebanggaan (prestige) dan citra (image).
Dalam kerangka berpikir seperti ini pesta dibuat sebagai event bernilai jual. Pesta menjadi aktivitas berciri ekonomis.
Hampir setiap bagian diformat untuk bisa dijual, laku, dan menarik perhatian
“mata” (eye-catching). Louis Cole dan Vickers-Jones Gile (2009)
dalam Professional Modelling
menggambarkan betapa setiap “lekuk” dan bagian tubuh (any part of the body) dapat dipermak, dipoles, diperbaiki sehingga
tidak sekedar mempunyai daya tarik karena tampilan fisik (physical appearance) tapi juga bernilai jual (economical appearance). Analogi ini tepat untuk menggambarkan
bahwa “aroma komersialisasi” itupun ada dimana-mana dalam bentuk dan wujud
apapun, bahkan tutur kata ataupun omongan sekalipun (lihat Hamish Pringle,
2004:269 dalam Celebrity Sells).
Woro-woro
(spanduk, papan-papan baliho, iklan-iklan di radio maupun TV) disebarluaskan
supaya pesta itu diketahui, dikenali, dipahami sebagai sesuatu yang “penting”
dan wajib dihadiri. Wajar kemudian jika seseorang yang hendak punya gawe,
banyak berdatangan, bermunculan tawaran untuk membantu kelancaran jalannya
pesta.
Gegap
gempita diwarnai oleh sorak sorai pendukung masing-masing kandidat. “Keramaian”
pun diciptakan sebagai enforcement
bahwa kandidat adalah orang yang tepat dan layak untuk dipilih. Keramaian
inilah yang kemudian “dipublikasikan dan diekspos”. Dan, pesta itu adalah
sarana yang disediakan untuk mengekspresikan kebebasan, menggunakan hak pilih
untuk memilih sang idola. Artinya, dengan pesta itu seolah ideal sebagai negara
demokratis telah terpenuhi. Ada kebebasan disana. Ini yang sangat diharapkan
untuk mewujudkan kepentingan bermuatan ekonomis.
Apanya yang dikompetisikan?
Munculnya
banyak kandidat memicu kompetisi, yaitu persaingan untuk dapat menarik simpati
massa, persaingan untuk mendapatkan kedudukan, sebagai pemenang. Banyaknya
kandidat juga seringkali menjadi ukuran tingkat partisipasi, kesuksesan dan
obyektifitas. Kompetisi hanya membuat sibuk kandidat untuk saling mengalahkan
dan memenangkan persaingan. Fokusnya hanya bagaimana merebut kemenangan itu.
Artinya, kemenangan sebagai tujuan yang selalu diimpikan. Tentu saja kemenangan
yang harus diperoleh dengan mengalahkan lawan. Kemenangan yang berasal dari
kekalahan pihak lain. Keadaan yang lumrah apabila ternyata janji-janji manis
dan muluk adalah “pepesan kosong”. Ketika kemenangan sudah tercapai, maka fokus
perhatian terkonsentrasi pada “politik dagang”, yaitu distribusi “kue” kewenangan
dan kedudukan sebagai konsekuensi dari praktik-praktik negosiasi yang telah
dilakukan sebelumnya. Tak mengherankan seperti dikatakan Chris Paten (2008)
dalam What Next? Surviving the
Twenty-first Century, bahwa politik sebenarnya adalah sarana untuk
memuaskan keserakahan dan ambisi melalui absolutisme otoritas yang seringkali
memihak pada kepentingan sektoral. Melalui politik diketahui dalam diri manusia
sarat keruwetan keinginan (wants) dan
kebutuhan (needs). Manusia yang serakah,
banyak maunya dan selalu melakukan kalkulasi untuk mengamankan kepentingannya.
Kompetisi
ditujukan untuk saling mengalahkan. Adu argumentasi dalam kampanye dialogis adalah
persoalan kapasitas intelektualitas para kandidat yang tidak akan pernah
mengecewakan. Mereka mempunyai ketrampilan “konseptual” mengungkapkan gagasan,
mengolah, meracik kata-kata dan logika menjadi kebenaran. Namun tak lebih dari
sekedar entertainment. Banyak
ungkapan berdaya nalar tinggi. Uraian-uraian itu mengalir lancar dan terasa
keindahannya. Enak didengar, dicermati, bahkan di”benar”kan.
Semakin
indah pendapat-pendapat itu diungkapkan, semakin memiliki potensi popularitas dan
nilai jual tinggi. Di balik itu terdapat “aroma” kompetitif. Mulai dari
ketrampilan memilih dan menggunakan kata-kata, merangkai kata demi kata menjadi
kalimat, sampai pada menggabungkan kalimat-kalimat tersebut dalam sebuah wacana
yang tepat dan relevan di depan audience-nya.
Tak kalah menariknya adalah sosok selebritis yang sebelumnya sudah populer di
atas panggung hiburan. Kehadirannya tiba-tiba dirindukan dan dibanggakan.
Kecantikan dan ketampanan mereka mampu membentuk “magnet” pesona dan histeria
tersendiri. Kesempurnaan diukur secara fisik. Dan, itulah yang dikompetisikan.
Kebenaran money politic
Sakralisasi
budaya material memotivasi kreatifitas untuk meraih kecepatan dan kemudahan.
Segala sesuatunya ingin lebih cepat dan mudah. Pemendekan proses adalah upaya
menghilangkan, memotong sejumlah “jalur
in-efisiensi” yang didefinisikan secara subyektif. Demikian juga untuk memenuhi
sebuah ambisi dan “serakah” politis, meraih kedudukan, mendapatkan tempat
teratas dalam format “ideologi” kecepatan dan kemudahan akan diselesaikan
dengan politik uang (money politic). Semuanya
akan menjadi lebih cepat dan mudah dengan kehadiran uang.
Politik
uang menjadi kambing hitam dan jargon yang tak terpisahkan pada penyelenggaraan
pesta demokrasi. Dalam tataran tertentu sangat sulit menemukan indikasi
terjadinya politik uang karena hampir tidak pernah ada pihak yang merasa
“dikalahkan” apabila sudah diperhitungkan hak-haknya secara damai “di belakang
meja”. Pengertian “uang” dalam konsepsi ini juga tidak mesti dipahami secara
kebendaan. Tawar menawar politis adalah fenomena pemerataan kesempatan dan
akses. “Bagi-bagi rejeki” adalah solidaritas bentuk baru untuk memberi
kesempatan kepada siapapun yang ingin memiliki “peran”. Mungkin benar dalam hal
ini perlunya kerjasama, kebersamaan, dan gotong royong. Bisa juga “peran” kalah
menjadi sangat menggiurkan asal cocok dengan “harganya”. Kekalahan sebagai
“komoditas” dibutuhkan oleh sang pemenang untuk menempati kemenangannya. Sangat
tidak masuk akal apabila kemenangan diperoleh tanpa ada pihak yang dikalahkan. Kekalahan
itu dapat diperjualbelikan.
Fenomena konsumtif
Konsumtif
adalah fenomena “kelebihan” (excess)
ketika tanpa disadari aktivitas bernilai ekonomis itu kehilangan rasionalitas
ekonomis, yaitu common sense yang
selalu menjaga “hukum keseimbangan” antara pengorbanan, harapan nilai dan
kapasitas sumber daya. Nilai-nilai kelebihan akan sangat dibutuhkan untuk
meyakinkan dan memikat para pemilih (voters).
Nilai-nilai itu dipakai untuk membangun imaji kesempurnaan. Agar mempunyai
nilai angka yang tinggi untuk meraih kemenangan. Untuk tujuan ini, belanja
nilai-nilai kelebihan seringkali membengkak. Terminologi biaya (cost) dialihkan menjadi investasi (investment) yang suatu saat harus
memiliki nilai pengembalian (return value).
Secara immaterial setidaknya ada
beban moral untuk mengembalikan semua bentuk dukungan. Apapun bentuk dukungan
mempunyai nilai dan konsekuensi moral untuk “dikembalikan”.
Pesta
politik itu berakhir dan selesai diikuti oleh kalkulasi serta sejumlah
kesepakatan “transaksional”. Formalitas pesta telah selesai, namun “realisasi”
kalkulasi politis tetap akan ditagih. Ada kesepakatan-kesepakatan “damai” yang
sarat bermuatan kepentingan (politis). Kemeriahan pesta harus dibayar dengan
harga yang tidak murah. Karena penyelenggara pesta itu adalah rakyat maka harga
yang mahal dibebankan kepada rakyat. Pihak pemenang sudah berhitung secara
cermat bahwa kemenangannya tersebut adalah persoalan sukses “titik balik”
ekonomis (break-even point). Biaya
dan belanja bagi “suksesi kemenangan” telah diperhitungkan dengan capaian
kemenangan. Dengan kemenangan maka popularitas (si pemenang) akan meningkat. Secara
ekonomis kemenangan itu dipahami sebagai “kelangkaan” (scarcity) sehingga harganya mahal. Pemenang juga memiliki
kesempatan yang lebih luas, lebih banyak dengan sumber daya (resources) otoritas atau kewenangannya.
Pemenang mempunyai hak untuk mendapatkan kedudukan, jabatan. Dengan kedudukan
dan jabatan dia mempunyai otoritas dan akses. Karena kemenangan itu memiliki
nilai ekonomis tinggi maka dia (baca: kemenangan) harus selalu
diproteksi, dilindungi. Untuk itu memerlukan biaya yang cukup mahal.
Kata
akhir
Konsumsi
dalam konteks rasionalitas ekonomis dapat dibenarkan tetapi konsumtif sebagai
sebuah ideologi adalah budaya yang
selalu mengedepankan nilai-nilai lebih (values
of excess). Nilai-nilai lebih adalah polesan atau “kosmetik” kosong (cosmetic of nothing) yang membutuhkan
biaya banyak namun selalu “menghilangkan” esensi dan mengaburkan tujuan yang
sebenarnya. John Harvey (2008) dalam Clothes
menunjukkan karakter kosmetik pada “pakaian”. Karakter kosmetik adalah
“menyembunyikan”. We wear them but they
are not us. The important “us” is hidden by them.
Dalam
konteks politik, polesan kosong itu antara lain janji-janji yang berlebihan. Bisa
dilihat pada saat mereka melakukan kampanye dialogis. Isi argumen dalam
kampanye semacam itu sangat briliant.
Para kandidat itu bisa mengungkapkan argumennya masing-masing secara runtut, bernalar,
masuk akal. Itu dibutuhkan untuk menarik simpati dan mendapatkan kemenangan. Munculnya
banyak program yang tidak realistis adalah “bukti” terlalu banyaknya polesan untuk mengangkat popularitas. Senyum
manis para kandidat sering dijumpai di jalan-jalan. Foto-foto mereka terpampang
dalam spanduk, baliho maupun iklan-iklan radio dan TV. Tentu itu adalah
foto-foto terbaik mereka. Itu adalah juga persoalan “aksesori” untuk meraih
popularitas. Mungkin yang dibutuhkan bukan keramahan dalam bentuk senyuman
manis seperti itu namun keseriusan memberdayakan, membuat orang lain menjadi
semakin independen, “mengerti”, dan akhirnya kemampuan menentukan sendiri
pilihannya yang terbaik.
Ambisi
politis adalah bahasa lain dari egoisme gengsi (prestige) yang membelenggu secara eksklusif untuk dapat
ditempatkan sebagai kelas satu (first
class), sebagai pemenang (winner)
yang patut mendapatkan, mengenakan kedudukan. Akhirnya, memiliki otoritas atau
kewenangan menjadi sangat diperlukan. Namun sayang otoritas yang telah
diperoleh melalui perjuangan kompetitif meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Kemenangan
itu membutuhkan perjuangan berat bukan untuk melaksanakan janji-janji yang
telah diiklankan tetapi justru merealisasi kesepakatan “transaksional” dengan
para pendukungnya, distribusi kewenangan dalam kerangka pikir bagaimana
mencapai “titik balik ekonomis” (break-even
point).
Energi
kemenangan adalah persoalan budaya kuantitas, persoalan angka yang lebih besar
dan angka yang lebih kecil, persoalan kompetisi dalam tingkatan “formalisme” dan
persoalan konsumsi irasional. Persoalan itu mestinya tidak lebih esensial
daripada peran “baru”nya masing-masing sebagai pihak yang menang dan pihak yang
kalah. Menang dan kalah mempunyai kedudukan yang sama dalam peran baru. Sebagai
pemenang dia menjaga konsistensi komitmen terhadap realisasi janji-janji yang
telah disampaikan (selama kampanye). Sebagai yang dikalahkan dia berjuang untuk
menghilangkan stigmata “kedudukan subordinatif”nya sekaligus keterbukaan kolaboratif
(dengan pemenang). Namun ingat, semuanya itu mesti bermotif kepentingan
mayoritas. @ign_heri_sw/2013
Referensi:
1)
Cole,
Louise & Vickers-Jones, Giles (2009) Professional
Modelling. New Holland Publisher Ltd: UK
2)
Harvey,
John (2008) Clothes. John Harvey
Stocksfield: UK
3)
Pringle,
Hamish (2004) Celebrity Sells. John
Wiley & Sons: England
4)
Paten,
Chris (2008) What Next? Surviving the
Twenty-first Century. Penguin Books Ltd: London