PEMAKNAAN KEMISKINAN
Ignasius Heri
Satrya Wangsa
Kepentingan
diri sendiri
Adalah wajar apabila diri sendiri ingin selalu
didahulukan dan disenangkan dalam rentang tanpa batas. Selalu pada setiap
kesempatan, pertimbangan utama adalah kepentingan diri sendiri. Perlahan namun
pasti, tanpa disadari orientasi kepentingan diri sendiri menjadi “kronis dan
akut”, membelenggu, membentuk sebuah wilayah kenyamanan (comfort zone). Diri menjadi semakin peka dan rentan terhadap
setiap permasalahan yang mengancam “gangguan” terhadap wilayah kenyamanan.
Porsi kepentingan diri (selfishness) dapat diketahui melalui seberapa besar “luas” wilayah
kenyamanan. Semakin luas wilayah kenyamanan yang dimiliki menandakan tingkat
kemelekatan (attachment) yang semakin
tinggi. Ini kemudian membawa pada rasa “memiliki kemampuan luar biasa” serta
penuh rasa percaya diri untuk dapat mengatasi segala permasalahan. Bahkan, merasa mampu sebagai seorang pemain tunggal (single player), sebagai pemecah berbagai
permasalahan (problem solver).
Tanpa disadari, kepentingan diri sendiri yang semakin
“melebar” menjadikan keadaan “lupa diri”. Arogansi-pun muncul. Terjadi
peralihan dari hakikat subyek aktif yang punya nilai (value) dan martabat (dignity)
menjadi obyek pasif yang bernilai komoditif. Sebagai sebuah obyek pasif,
intervensi lingkungan eksternal yang mempromosikan nilai-nilai ekonomis tinggi akan
mudah diakomodasi. Identitas sebagai makhluk yang memiliki nilai dan martabat
menjadi kabur dihilangkan oleh nilai-nilai kepraktisan. Semakin cepat semakin
baik, semakin memiliki “harga”.
Hidup sebagai diri sendiri dalam legacy kepenuhan dan keutuhan “produk” kebaikan Sang Pencipta
digantikan oleh pikiran yang terimajinasi oleh idealisasi ataupun kesempurnaan
bernilai ekonomis. Secara ekstrim keserakahan ekonomis menjadi dominan. Sejatinya,
itulah awal “ancaman serius” akan kerusakan jati diri sebagai manusia.
Kemiskinan
kebendaan
Kemiskinan seringkali dipahami sebagai
kekurangan, ketidakmampuan. Sebuah keadaan dimana seseorang dinyatakan sebagai
tidak berdaya secara material. Tidak punya tempat tinggal layak, pakaian pantas
pakai, uang dalam jumlah yang cukup, dsb. Melalui pengertian itu kemiskinan
material adalah kekurangan, ketidakmampuan sekaligus “absen” dari segala
atribut yang mengarah kepada kebendaan.
Realitas
lingkungan budaya material yang “ketat”, kesuksesan dan kebahagiaan manusia
diukur dari besar kecil “jumlah” kepemilikan sebuah obyek kebendaan. Memiliki uang, rumah, mobil, istri yang
cantik serta anak2 yang sehat (mungkin) merupakan puncak idaman kebahagiaan manusia. Tidak ada yang
salah dengan idealisme seperti itu walaupun (seringkali) ukuran kebendaan adalah
ukuran status sosial. Disitu ada konflik
horisontal. Lumrah kalau dikatakan “Aku ingin lebih ....?..... dibanding ....?.....”.
Akumulasi
kepemilikan kebendaan merupakan indikasi memiliki “lebih banyak” obyek
kebendaan sejalan dengan semakin banyaknya kebutuhan atau keinginan yang harus
dipenuhi. Dalam
pengertian ini, kepemilikan kebendaan adalah mutlak, mendesak dan tidak dapat
ditunda karena dapat “dipertukarkan secara ekonomis” dengan obyek material
ataupun non-material lainnya bagi pemenuhan sebuah kebutuhan atau keinginan.
Permasalahan ini menjadi kompleks ketika “kemutlakan,
keterdesakan” bernilai ekonomis sehingga akumulasi kepemilikan kebendaan
menjadi sahih dan dapat diterima. Dibenarkan oleh mekanisme alami
“tangan-tangan pasar”. Manusia menjadi obyek yang “menyerah” pada kemenangan
pasar.
Kemiskinan yang dimaknai secara
spiritual adalah upaya sadar membuka hati dan pikiran, memberi kesempatan
kepada kehendak roh
kudus untuk berkarya dan bekerja
secara penuh. Roh kudus yang berkuasa atas pikiran dan tindakan. (Kita) tidak lagi berada dibawah
otoritas intelektualitas, pikiran liar manusiawi yang (seringkali)
eksperimental, imajinatif, ekspansif
sekaligus futuristik. Menjelajah jauh diluar “keterbatasan”, diluar frame
waktu dan tempat “saat ini”.
Ketika “keindahan” perjalanan menapaki
hidup, yang dipahami sebagai religius dan bermakna, menjadi semakin dalam, maka
kemiskinan secara radikal tercapai. Secara perlahan namun pasti, kehendak
duniawi menjadi tidak populer, tidak lagi dominan, tidak lagi menjadi tujuan
utama. Puncak
daripada pemahaman yang tidak lagi dibawah kehendak perasaan “sensasional” manusiawi. Ego diminimalkan melalui
mekanisme yang tidak mampu diketahui dan dipahami. Disitulah terjadi “pertemuan
secara langsung” dengan Sang Pencipta melalui kemiskinan kebendaan.
Radikalisasi kemiskinan melalui kemiskinan kebendaan hanya mampu dipahami
secara spiritual sebagai persembahan diri secara penuh, menjaga kesadaran
sekaligus membangun fokus
perhatian tunggal kepada yang esensial, melepas secara sukarela
atribut-atribut yang berpotensi memperluas wilayah nyaman.
Apa yang salah dengan wilayah nyaman? Kemiskinan
kebendaan tidak mengosongkan arti sebuah obyek material yang dapat dinikmati
kenyamanannya. Obyek tersebut tetaplah berharga dengan sendirinya. Wilayah
nyaman sebagai obyek material memiliki mekanisme alami untuk selalu diinginkan,
dibutuhkan dan dimiliki. Spiritualitas kemiskinan kebendaan adalah energi hidup
untuk mengatur jarak yang “aman” akan potensi kemelekatan terhadap obyek
material.
Spiritualitas kemiskinan kebendaan bukanlah kerja
keimanan yang “membutakan” (blind faith),
tetapi keimanan yang memiliki mata hati. Dia adalah zero materialist. Dia dikagumi dan dihidupkan melalui keimanan yang
sadar. Selalu disegarkan oleh kejutan-kejutan “harapan” yang hadir disetiap
pagi hari; awal hari yang sepi, hening dan dingin. Selalu disegarkan oleh
pertemuan dengan manusia lain yang tidak selalu menyenangkan. Tentu karunia ini
hanya dapat diperoleh melalui suasana hati yang reflektif.
Kekayaan kebendaan memang perlu diminimalkan, tidak perlu
dimiliki dan dinikmati karena memiliki konsekuensi. Kalkulasi manusiawi tidak
akan pernah mampu menanggung “harga” dari konsekuensi tersebut. Sebaliknya,
kemiskinan kebendaan juga memiliki konsekuensi. Dia akan dijauhkan oleh
popularitas dan gemerlap pasar. Hanya
sedikit yang mampu mengenalnya dengan baik.
Kemiskinan
yang terintegrasi dengan hidup
Hidup dan cara hidup dapat selalu
diinspirasi oleh spirit kemiskinan. Sebuah upaya sadar mengadopsi nilai-nilai
hidup sederhana dengan bertindak dan beraksi secara disipliner dengan semangat
keberanian untuk membebaskan diri dari struktur laten yang berpotensi mengikat.
Sebagai contoh, kalau kehidupan doa
dijalankan secara penuh dengan keterikatan struktur tindakan dan aksi yang
“mati dan baku”, maka doa itu sendiri akan menjadi sebuah obyek pasif
“kebendaan”. Doa menjadi sekedar ritualisasi yang memiliki makna karena
dilakukan, dipraktekkan dengan mengikuti alur sistematik struktur tindakan dan
aksi yang “mati dan baku”. Artinya, doa menjadi kehilangan makna ketika berada
di luar “formalisasi struktur”.
Didalam kemiskinan terletak “permata”
dimana manusia dikondisikan secara sadar akan ketidakmampuan dan keterbatasan
“manusiawi”nya. Permata itu adalah pengakuan jujur adanya kekuatan yang tidak mampu
dipahami melalui daya pikir di “kepala” manusia. Selanjutnya, pengakuan
jujur tersebut menjadi refleksi kerendahan hati (humility). Manusia yang (memang) kedudukannya tidaklah
lebih tinggi daripada Sang Pencipta.
Kemiskinan yang berarti “kekurangan
dan pengurangan”, diartikan sebagai tindakan sadar untuk “tidak berlebihan” dan membatasi
secara ketat terjadinya kenikmatan inderawi (sensational
pleasure).
Sebuah tindakan ekstra antisipatif akan terjadinya bencana kerusakan nilai.
Kehendak “kepala” adalah hasil
kegiatan berpikir manusia yang revolusioner. Manusia yang selalu ingin tahu.
Manusia yang merasa lebih tahu. Kehendak “kepala” yang absen dari spirit
kemiskinan akan mudah terjebak dalam wacana rasionalisme. Kegiatan berpikir
menjadi demikian menyenangkan yang berpotensi membiarkan terjadinya ambisius imajinasi
liar. Semakin jauh, tidak terkendali, dan menyesatkan. Secara ekstrim ini akan mengancam terjadinya
kesenjangan (gap) dengan aksi nyata (empirical).
Kemiskinan
yang aktif
Miskin dan kemiskinan yang dipahami secara penuh dan
sadar akan menggerakan kekuatan ilahi dalam inner-self
untuk menyambut panggilan hidup secara aktif. Panggilan hidup yang aktif bukan
untuk menghilangkan kemiskinan tetapi justru memperdalam makna miskin dan
kemiskinan sebagai aksi nyata yang inspiratif.
Walaupun tidak mudah, praktek-praktek miskin dan
kemiskinan dalam format spiritualitas adalah keberanian untuk berlawanan dengan
mainstream. Keberanian mengkritisi
nilai-nilai “kotor” yang biasanya bersembunyi di balik sistem mapan, nyaman dan
menyenangkan. Konsekuensinya, dia akan selalu dijauhi dan dihindari.
Kemiskinan yang aktif tidak pernah konflik dengan orang
lain, tidak pernah memprovokasi orang lain ataupun mempromosikan dan mempopulerkan
sebuah nilai. Dia selalu berurusan “kedalam”, bersama diri sendiri secara aktif
mengambil “jarak” yang tegas dengan dunia material. Energi untuk itu didapat
bukan melalui pemahaman rasional melainkan spiritual. Kemiskinan yang aktif
sebagaimana “kontemplatif aktif” adalah secara “tenang dan damai” mengurangi
perhatian pada nilai-nilai komersial.
Kemiskinan
yang radikal
Kata “cukup” hendaklah berarti “cukup”. Kemiskinan yang
memiliki arti “pengurangan” dipahami secara spiritual sebagai kesadaran utuh
dan tidak terbagi menjalankan kehendak roh kudus. Roh kudus yang perlu untuk
didengar dan disimak melalui bahasa “hati”, melalui karya-karya yang aktif.
Artinya, ada inisiatif serta keinginan tinggi untuk mengurangi keinginan-keinginan
yang bertentangan dengan kehendak hati.
Kemiskinan yang berarti penyerahan diri secara total
untuk berkarya secara aktif membebaskan diri dari kemalasan dan cinta-diri (narcistics) yang berlebihan. Semangat
kemiskinan adalah semangat untuk “tidak berpunya”, yaitu secara bebas menghindarkan
diri dari setiap keinginan yang berpotensi menyenangkan diri sendiri (selfishness).
Percaya dan yakin merupakan manifestasi komitmen
kemiskinan, yaitu dengan penuh kesabaran menunggu untuk menerima kebaikan hati
dari orang lain. Secara aktif diterjemahkan sebagai berupaya secara konsisten,
berkelanjutan dan penuh kesadaran menjaga keseimbangan hidup. Pemahaman
spiritual haruslah berarti kepercayaan bahwa Tuhan hadir secara nyata tidak
saja melalui peristiwa-peristiwa yang menggembirakan dan menyenangkan tetapi
juga ketika terjadi kekecewaan ataupun keluhan karena keterbatasan manusiawi (human limitation), penolakan (rejection), dsb.
Kemiskinan bukanlah impian filosofis melainkan praktek-praktek
(practices) yang membuat hati semakin
bertumbuh dalam kepenuhan iman. Hati yang semakin peka, damai dan tidak akan
pernah menuntut untuk mencapai sebuah kenyamanan. Dengan demikian “motor
penggerak” dalam hidup ini adalah kuasa Roh Kudus. Peran kita hanyalah sebatas
“menjaga” secara ketat melalui kehidupan doa.
Tidak akan ada kata “jenuh maupun bosan”. Kejenuhan dan
kebosanan terjadi ketika pikiran kehilangan kontrol akan keadaan diri yang
sebenarnya. Keadaan dimana pikiran membawa diri kita kepada ingatan-ingatan
masa lalu (past moments) yang kontras
dengan kerangka waktu dan tempat (time
and space) saat ini. Tidak disadari bahwa perjalanan hidup, menyusuri waktu
dan tempat, dengan “bergerak” ke depan (onward),
dan bukan sebaliknya, mundur ke belakang (backward).
Kemiskinan dalam kerangka spiritualitas (dan mungkin,
praktis) tidak akan pernah mencari “popularitas”. Keadaan “miskin” tidak akan
pernah disukai orang. Orang miskinpun tidak akan pernah mau dikatakan sebagai
“miskin”. Artinya, akan ada resiko penolakan secara sosial, memunculkan
perdebatan ataupun pertentangan karena memang “melawan arus”. Namun demikian,
itu hanyalah masalah “pengetahuan yang masih belum lengkap”, sebuah proses yang
dinamis untuk itu. Secara perlahan namun pasti, melalui perjalanan hidup yang
panjang, manusia menjadi semakin paham.
Dalam iman yang aktif (active
faith) manusia dibantu oleh tangan-tangan Ilahi untuk menjadi semakin
memahami “jalan lurus”. Jalan lurus yang dipahami melalui sebuah kesetiaan atau
cinta yang tidak terbagi (undivided love),
yang tidak akan pernah mampu dihalangi oleh kepentingan diri sendiri (selfishness). Artinya, melalui semangat
kemiskinan, kesetiaan dalam mengikuti “jalan lurus” akan selalu “diuji”. Akan
selalu ada ujian peneguhan dalam berbagai bentuk yang tidak akan pernah
diketahui atau diperkirakan oleh pengetahuan intelektualitas manusia.
Pemiskinan juga bukan bertujuan untuk menjadi “kaya”.
Spirit pemiskinan hanya bergerak “satu arah”. Dia memiliki fokus yang jelas
untuk bergerak satu arah dalam jalan yang lurus lepas dari berbagai atribut
motif dan kepentingan. Ketika spirit itu disadari secara penuh, pelan namun
pasti, terjadi sebuah “perubahan”. Tanpa disadari, terjadi sebuah perubahan.
Hidup menjadi “bebas atribut” dan lepas dari problem persepsi. Disadari
kemudian bahwa keberadaan atau eksistensi kita menjadi sangat memiliki arti.
Eksistensi secara fisik, hadir secara nyata dimana pikiran, hati dan “tubuh”
terintegrasi secara harmonis.
Dalam kemiskinan (sebagai sebuah praktek) tidak ada
“perencanaan”. Kehendak manusia tidak akan mampu mengintervensi spirit kemiskinan.
Manusia memiliki kepandaian untuk merencanakan, tetapi spirit kemiskinan
sebagai sebuah berkat adalah murni karena kehendak dan kemurahan hati Sang
Pencipta. Kemiskinan tidak dapat direkayasa, dipraktekkan melalui mekanisme
materialistis institusional. Mengapa? Godaan terbesar adalah materialisme
institusional yang selalu ingin diperbaiki, disesuaikan dengan “jamannya”.
Seringkali memang “kemasan” lebih menarik dan menggoda daripada “isi”.
Kemiskinan spiritual (spirit of the poor)
mampu menghilangkan hambatan, halangan
“kemasan”. Resiko yang muncul juga seringkali kontradiktif (karena nature dari absensi perencanaan). Resiko
untuk tidak disukai, tidak populer, dan dijauhi “pasar”.
Adalah karunia ilahi bagi mereka yang berani mengadopsi
spirit kemiskinan dalam lingkungan hiruk pikuk dunia material. Puncak daripada
karunia ilahi yang tidak mampu dipahami oleh rasionalitas manusiawi (seringkali
tanpa diduga) “berbalik arah”. Resiko untuk dibuang dan dipinggirkan (oleh
mekanisme material) tiba-tiba muncul sebagai sebuah popularitas yang dicari dan
dirindukan. Dapat dipahami mungkin karena Tuhan sendiri datang “melalui
kemiskinan”, yaitu Yesus Kristus yang lahir di kandang. Kesederhanaan,
keterbatasan adalah bahasa kemiskinan itu sendiri. © Ign. Heri Satrya Wangsa - 2013