Sport time - Boarders at Asrama Butitin |
Group picture 2015 - Boarders, Staffs and Brothers |
Kehadiran
Kasih *)
Br. Ignasius Heri Satrya Wangsa FSC
*) This
article is published by Catholic Sabah
Masalah dalam hidup
Pernahkah kita mengalami rasa
kecewa atau kepahitan selama menjalani hidup ini? Hidup yang dirasakan sebagai tidak memiliki
arti. Hidup yang dirasa suram dan gelap. Sebaliknya, pada sebuah kesempatan
kita mengalami hidup yang dipenuhi oleh sukacita dan kegembiraan. Pernahkah
kita mencoba berpikir sejenak, apa arti itu semua?
Ada yang berpendapat kekecewaan
adalah wajar. Kecewa (yang kemudian mendatangkan kesedihan) karena harapan yang
tidak dapat dipenuhi. Pendapat lain mengatakan kekecewaan dan kesedihan sebagai suatu “halangan” untuk mencapai
kebahagiaan hidup, dan oleh karenanya perlu dihindari, dijauhi dan (bahkan)
dihilangkan. Sukacita dan kegembiraan dalam hidup kemudian menjadi tujuan
karena disitulah akan didapati kebahagiaan.
Kecewa, kepahitan, sukacita dan
kegembiraan adalah persoalan perasaan (feeling)
dan emosi (emotion) yang dialami oleh
manusia pada umumnya sebagai konsekuensi menjalani hidup interaksional (interactional), iaitu manusia yang
saling berinteraksi, berhadapan, dan
bertemu untuk mencapai sebuah tujuan. Kita akan merasa kecewa ataupun mengalami
kepahitan ketika terjadi kegagalan. Kecewa atau kepahitan sebagai bentuk
kegagalan. Gagal memenuhi harapan. Sebaliknya, sukacita dan kegembiraan adalah
kesuksesan, keberhasilan.
Kegagalan dalam memenuhi harapan
dilihat sebagai “masalah”. Mereka yang melihat permasalahan secara reaktif akan selalu menginginkan pemecahan ataupun
penyelesaian yang cepat. Semakin cepat semakin baik. Ini disebabkan permasalahan
merupakan sesuatu yang negatif yang harus segera diselesaikan dan dituntaskan
supaya tidak menimbulkan akibat negatif (merugikan) yang semakin meluas.
Permasalahan yang dihadapi secara responsif dilihat sebagai kesempatan yang
menguntungkan. Oleh karenanya, yang dicari adalah kesempatan untuk mendapatkan
“harta yang tersembunyi” (hidden
treasure) di balik sebuah permasalahan.
Tidak ada yang menginginkan
kekecewaan dan kesedihan. Namun mungkin, banyak yang menganggapnya sebagai
sebuah kenyataan yang harus diterima, bahkan dijadikan sebagai bahan refleksi
hidup. Kekecewaan dan kesedihan yang justru menjadi kekuatan baru untuk semakin
bertumbuh menuju kebaikan.
Kasih yang hilang
Terjadinya “masalah” dalam masyarakat saat ini
disebabkan oleh kasih yang hilang. Tidak ada belas kasihan melalui semangat
berbagi (sharing) melainkan keinginan
untuk mementingkan diri sendiri (selfishness).
Keadaan dimana yang menjadi orientasi adalah keinginan mendapatkan “kelebihan”.
Secara kebendaan (material) misalnya “aku
ingin memiliki lebih banyak”, secara emosional (non-material) misalnya “aku ingin lebih diterima, diakui dan
didengar”. Masyarakat memang sedang “sakit dan bersedih” karena berbagai keinginan
ataupun harapan yang tidak tercapai. Ini yang akhirnya melahirkan berbagai
macam bentuk kejahatan.
Kasih yang hilang terdapat dalam
kasih yang mengharapkan imbalan. Kasih yang bersyarat (conditional love). Kepalsuan kasih ataupun kasih yang tidak tulus dalam bentuk halus dan lemah lembut
sebagaimana dilakukan oleh Yudas yang mengkhianati Yesus “… orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia” (Matius
26:48)
Secara kodrati manusia memang lemah.
Terdapat “… kecenderungan hati untuk
membuahkan kejahatan” (Kejadian 6:5). Selanjutnya dalam Perjanjian Lama
disebutkan adanya “krisis” kasih antara
Kain dan Habel “… lalu hati Kain menjadi
sangat panas, dan mukanya muram” (Kejadian 4:5), serta persaudaraan antara
Yusuf dengan saudara-saudaranya “…
setelah dilihat oleh saudara-saudaranya, bahawa ayahnya lebih mengasihi Yusuf
dari semua saudaranya, maka bencilah mereka itu kepadanya dan tidak mau
menyapanya dengan ramah.” (Kejadian 37:4)
Kasih yang memberi (to give) adalah
perbuatan-perbuatan yang dipenuhi oleh kesabaran, kemurahan hati, ketulusan dan
kerendahan hati. “… Kasih itu sabar,
kasih itu murah hati, ia tidak cemburu, ia tidak memegahkan diri dan tidak
sombong.” (I Korintus 13:4). Ketika dilakukan dengan sepenuh hati, maka tidak ada keinginan untuk
mendapatkan balasan. “… ia tidak mencari keuntungan diri sendiri” (I Korintus 13:5). Kasih adalah murni melakukan aksi memberi
tanpa mengharapkan imbalan (reward).
Tidak ada pamrih. Tidak menginginkan apapun sebagai balasan.
Kasih dalam keluarga
Kasih berawal dan berasal dari
kebaikan Tuhan yang “… melihat segala yang
dijadikanNya, sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Melalui kebaikanNya pula
manusia diciptakan “…menurut gambar dan
rupaNya” (Kejadian 1:27). Dengan demikian relasi Tuhan dengan manusia
ciptaanNya adalah kebaikan dan kasih. Catechism of the Catholic Church (CCC) Article-7 No. 1604 menyebutkan “Manusia dipanggil untuk saling mengasihi
karena kehendak Tuhan yang menciptakan manusia atas dasar kasih”.
Dictionary of the Bible yang
ditulis oleh John L. McKenzie, S.J. (2002) menyebutkan kata “keluarga” berasal
dari Bahasa Ibrani bet’ab yang
berarti “rumah bapa” (father’s house).
Terdapat karakter patriakal dimana keluarga dipimpin oleh seorang bapa (father) yang bertanggung jawab memberi
arahan (direction) keluarga sebagai
komunitas yang diberkati (religious unit)
sekaligus hidup menurut nilai-nilai moralitas (moral unit).
Keluarga dibentuk melalui relasi
sakral (sacred relation) suami-isteri
sebagai wujud kehadiran kebaikan dan kasihNya untuk “... beranak-cucu dan bertambah banyak. Memenuhi bumi dan menaklukannya
serta berkuasan di atas ciptaanNya yang lain” (Kejadian 1:28). Selanjutnya,
“Laki-laki dan perempuan yang
diciptakanNya sekaligus diberi karunia panggilan hidup keluarga, mereka akan
saling mengasihi. Kasih dalam pengertian itu merupakan citraan kasih Tuhan yang
besar kepada manusia ciptaanNya.” (Catechism of the Catholic Church
Article-7 No. 1604)
Seseorang yang merespon panggilan
dalam kehidupan keluarga (family life)
memiliki kesempatan untuk mengenali kasih Tuhan secara nyata, iaitu memberikan
hidup dan perhatiannya secara khusus (exclusive
love) kepada pasangannya masing-masing. Kehidupan keluarga sebagai sebuah berkat
sekaligus tanggung jawab untuk meneruskan dan mewariskan kasih kepada generasi
baru. Keluarga merupakan medium bagi persemaian benih-benih kasih yang kelak memberikan
kontribusi bagi terbentuknya masyarakat “ideal”, masyarakat yang berisi
manusia-manusia yang memiliki pengalaman kasih timbal balik (mutual love) yakni pengalaman dikasihi
dan mengasihi.
Kasih yang diberikan oleh orang
tua terhadap anak-anaknya. Demikian dan seterusnya ketika anak-anak tersebut
menjadi dewasa dan akhirnya membentuk keluarga baru. Sebuah tugas perutusan
suci membentuk manusia-manusia baru yang dipenuhi oleh kasih.
Kasih yang diawali dari keluarga
dilakukan secara nyata melalui semangat untuk berbagi (sharing). Dalam keluarga sangat dimungkinkan terjadinya praktek-praktek
kasih dalam bentuk yang paling sederhana. Orang tua, bapa ibu memiliki peran penting
menerapkan contoh kasih-kasih kecil.
Orang tua yang kemudian menjadi teladan bagi anak-anaknya. Orang tua yang
dalam setiap gerak, langkah dan tindakan memberi kesan baik di mata
anak-anaknya. Mereka memiliki peran menunjukkan kasih melalui
perbuatan-perbuatan sederhana misalnya,
kelemahlembutan dalam berbicara, bertutur kata dengan baik karena “… perkataan yang baik dan membangun akan
menghasilkan kasih karunia” (Efesus 4:29).
Kasih yang membahagiakan
Pengalaman kasih yang
membahagiakan adalah ketika manusia semakin memahami bahawa hidup yang lengkap
dan penuh (completeness of life)
terletak pada keseimbangan. Keseimbangan hidup. Dan, bahawa disitulah dapat
dimengerti kemauan dan kehendak Tuhan yang senantiasa menginginkan manusia
menjadi bahagia melalui keseimbangan hidup. Sesungguhnya kebahagiaan seperti
itu yang merupakan kebahagiaan sejati (real
happiness). Kebahagiaan yang memang dikehendaki oleh Tuhan dan bukannya
melalui campur tangan manusia dengan menggunakan daya pikir yang dimilikinya.
Kebahagiaan sejati bukanlah sekedar dilakukan melalui perubahan cara pandang (to change your mindset).
Santo Paulus menyebutkan perlunya
pelayanan “pengorbanan” kasih. Kasih yang berkorban untuk mewujudkan
keseimbangan hidup “… hendaklah kelebihan
kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka mencukupkan
kekurangan kamu …” (2 Korintus 8:14). Pengertian “kelebihan” dalam “kelebihan
yang mencukupkan kekurangan” merupakan harta kasih terbesar (the greatest treasure) yang sudah
dimiliki oleh manusia pada awal penciptaannya. Melalui pemahaman iman,
“kelebihan” tersebut hendaklah diberikan untuk “mencukupkan kekurangan orang
lain”. Iman yang aktif adalah panggilan untuk mewartakan kabar baik khususnya
bagi orang-orang yang masih mengalami “kekurangan”.
Kasih yang berawal dari keluarga dapat
menjadi sumber inspirasi, iaitu keluarga sebagai sebuah spirit (family spirit). Hidupkanlah secara
nyata adanya “sukacita kasih”. Bahawa ternyata terdapat kasih yang sangat besar
dari bapa ibu tercinta, orang tua kita terhadap anak-anak yang selalu
dikasihinya. Orang tua yang senantiasa mendoakan dan mendukung anak-anaknya.
Itulah kasih kekal yang diberikan oleh orang tua kita. Harta “warisan” yang tak
pernah habis itu adalah kasih mereka. Kita mewarisi kasih yang berasal dari
keluarga. Produk dari kasih yang telah diberikan melalui keluarga kita.
Bentuk dan hiduplah dalam
keluarga sebagai sebuah spirit (family
spirit). Santo Paulus menyebutnya sebagai keluarga beriman (family of faith) (lihat Galatia 6:10).
Keluarga dalam arti semangat dimana kasih bersumber di dalamnya. Dimana
terdapat oase atau mata air kasih, iaitu kasih yang berasal dari sumber air
hidup yang terus mengalir. Dia adalah sumber air hidup tersebut “… kiranya telah dikaruniakan kepada kita
untuk mengenal Yang Benar. Dialah kebenaran dan hidup yang kekal.” (2
Yohanes 5:20)
Bentuklah diri pribadi sebagai
“bangunan keluarga” milikNya yang senantiasa memancarkan “energi” kasih yang
tidak saja memberi kebaikan bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Dengan
demikian, kehadiran kasih akan menghidupkan sukacita dan kegembiraan, menghalau
kekecewaan dan kepahitan dalam menjalani hidup yang singkat ini. Tuhan sungguh
baik dan penuh kasih. © ignasius2014
----------------------------------------------
Br. Ignasius Heri Satrya Wangsa FSC
Asrama Butitin Nabawan
Peti Surat 43
89957 Nabawan
Sabah
Cellphone: (+60) 11.252.94.668